MENCERMATI AMANAT PENDIDIKAN DALAM AMANAT AGUNG TUHAN YESUS BERDASARKAN KESAKSIAN MATIUS 28:19-20

, , No Comments


MENCERMATI AMANAT PENDIDIKAN DALAM AMANAT AGUNG TUHAN YESUS BERDASARKAN KESAKSIAN MATIUS 28:19-20

oleh Nasokhili Giawa


Pendidikan adalah salah satu titik perhatian Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.  Tentang urgensi pendidikan ini, Salomo bin Daud menuliskan, “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan -- Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Ams. 1:5,7).  Kebenaran ini menggarisbawahi beberapa prinsip mendasar. Pertama, orang bijak (berpengetahuan) berawal dari kesediaan untuk mempertajam kualitas pendengarannya. Artinya, proses belajar itu dimulai dengan mendengar; Kedua, orang yang bijak perlu menambah pengetahuannya (ilmunya).  Artinya, perlu belajar dengan benar dan sungguh-sungguh melalui proses edukasi formal, informal, dan nonformal; Ketiga, orang yang dinamakan bijak perlu memperbanyak pengetahuan dan pengalamannya sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang strategis dan bijaksana tentang hidup dan kehidupannya.  Semua sumber pengetahuan ini didasarkan atas takut akan Tuhan.
Belajar adalah kontrak seumur hidup.  Melalui belajar (pendidikan), seseorang dapat mengalami kemajuan, pertumbuhan, dan perubahan pada tingkat yang lebih baik, lebih bernilai, lebih beradab, lebih santun, dan lebih harmonis.  Semua ini dapat diperoleh melalui proses belajar (pendidikan).  Melalui pendidikan pula, manusia dapat belajar secara detail karena ada natur konstitusional yaitu kemampuan berpikir (homo sapiens) yang dianugerahkan secara gratis oleh Allah kepada manusia.  Inilah yang merupakan alat ‘pembeda’ antara manusia dengan segala makhluk atau ciptaan lain.  Karena kelebihan dan keunikan inilah, Daud bertutur “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat (Mazmur 8:4b-6).
Bila menelusuri sejarah peradaban manusia, akan ditemukan orang-orang yang menaruh peduli terhadap pendidikan.  Misalnya, Plato (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.  Ia memberi perhatian pada pendidikan guna mewujudkan negara idealnya. Ia menyatakan bahwa tugas pendidikan bertujuan membebaskan dan memperbaharui; terlepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Aristoteles (murid Plato) mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi Aristoteles lebih mengaitkannya dengan tujuan negara yang harus sama pula dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia).[1] Dengan perkataan lain bahwa kehidupan yang baik dan yang berbahagia ini merupakan fokus dari proses pendidikan itu sendiri.
Sebelum pemikir modern memperlihatkan bahwa pendidikan itu penting, Tuhan Yesus telah mengamanatkan bahwa pendidikan/pengajaran itu sangat diperlukan dalam proses perubahan, reformasi, dan transformasi kehidupan manusia.  Karena itu, perlu dipahami apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sebagaimana dituangkan dalam pesan amanat agung-Nya.

I.    Beberapa Terjemahan Matius 28:19-20
Terjemahan Baru;
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Terjemahan Yunani
poreuqe,ntej ou=n maqhteu,sate pa,nta ta. e;qnh( bapti,zontej auvtou.j eivj to. o;noma tou/ patro.j kai. tou/ ui`ou/ kai. tou/ a`gi,ou pneu,matoj(  dida,skontej auvtou.j threi/n pa,nta o[sa evneteila,mhn u`mi/n\ kai. ivdou. evgw. meqV u`mw/n eivmi pa,saj ta.j h`me,raj e[wj th/j suntelei,aj tou/ aivw/nojƅ
Terjemahan NIV
Therefore go and make disciples of all nations, baptising them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit,  and teaching them to obey everything I have commanded you. And surely I am with you always, to the very end of the age."

II.  Perintah Agung dalam Matius 28:19-20
Partikel ‘lah’ yang dikenal dalam bahasa Indonesia adalah salah satu penanda bahwa kata itu identik dengan perintah.  Tidak demikian dengan bahasa Yunani.  Bahasa Yunani mengenal yang disebut dengan modus.  Modus (mood) berfungsi untuk menyatakan bagaimana si pembicara memandang hubungan antara isi kata kerja dan kenyataan.[2]  Salah satu modus dalam bahasa Yunani adalah modus imperatif (modus perintah/larangan).  Modus perintah ini menyatakan suatu tindakan yang akan terjadi/terwujud melalui pemakaian kehendak seseorang dalam mempengaruhi kehendak orang lain.[3]  Karena itu, ketika mengidentifikasi kata perintah di dalam amanat agung Tuhan Yesus yang dicatat oleh Matius, dari keempat kata kerja yang berakhir dengan partikel “lah” maka kata yang tergolong perintah tunggal adalah kata “jadikanlah semua bangsa murid Kristus” (maqhteu,sate). 
Dari perspektif eksegetikal, kata ‘jadikanlah’ (maqhteu,sate) berbentuk imperatif (perintah), aktif (terus-menerus dan berulang-ulang), aorist, orang ke-2, jamak -- yang berasal dari kata “maqhteu,w” yang diartikan “to be a disciple, to make a disciple/[4]menjadikan atau membuat menjadi murid”.  Tugas menjadikan atau membuat semua bangsa menjadi murid Kristus adalah tugas yang ditempatkan pada urutan paling sentral.  Selain kata “menjadikan semua bangsa murid Kristus” sebagai kata kunci (core) tetapi juga merupakan komitmen utama (fokus) sebelum melanjutkannya ke ranah tugas yang lebih detail seperti tugas membaptis, mengajar, dsb.
Dalam artikel yang ditulis oleh William Liem menyatakan bahwa kata kerja “pergilah dan jadikanlah” merupakan dua kata kerja perintah yang aktif. Bila itu adalah perintah yang aktif, berarti orang Kristen harus berinisiatif menaati-Nya. Memberitakan Injil bukan lagi suatu opsi, tapi suatu keharusan dan tanggung jawab orang percaya. Sehubungan dengan tugas ini, William Liem mengutip pernyataan Rick Warren yang menyatakan, “Setiap orang Kristen adalah duta Kristus. Ke mana pun ia pergi, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk memberitakan bahwa Kristus telah datang ke dalam dunia; Ia telah mati di atas kayu salib; Ia telah bangkit dan berjanji akan datang kembali untuk kedua kali. Suatu hari kelak, orang percaya harus mempertanggungjawabkan di hadapan Tuhan tentang seberapa seriuskah ia memberitakan Injil.”[5] Dengan dasar inilah, tidaklah mengherankan bila rasul Paulus menyatakan komitmennya pada tugas penginjilan dengan menyatakan, “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil (1 Korintus 9:16).  Lebih lanjut, William Liem menyatakan, “Namun dalam memberitakan Injil, suatu hal yang perlu orang percaya camkan adalah ia bukan hanya sekadar memberitakannya, dan setelah itu ia menganggap tugasnya selesai. Tidak. Melainkan ia harus berusaha sedemikian rupa sehingga orang yang diinjili rela menjadi murid Tuhan Yesus. Perkataan “murid” di sini lebih ditekankan pada fakta bahwa pikiran, hati, dan kehendak orang itu harus dimenangkan bagi Tuhan.”  Tentu saja, proses ini tidaklah hadir secara kebetulan, akan tetapi melalui tahapan pendidikan yang berkelanjutan – kecuali, dalam pengalaman kasuistik yang dikehendaki oleh Allah melalui kuasa Roh-Nya yang kudus.

III. Amanat Pendidikan di dalam Perintah Agung Tuhan Yesus
Berdasarkan pengamatan penulis, salah satu tugas gereja yang tampak terabaikan adalah masalah pendidikan/pengajaran (didache).  Banyak gereja yang berorientasi hanya pada aspek koinonia, diakonia, dan marturia tetapi mengabaikan sektor didache.  Padahal, pendidikan adalah jembatan menuju proses pembentukan kualitas pribadi Kristen yang utuh, unggul, dan komprehensif. William Liem dalam tulisannya, ia mengkritisi gereja dengan menyatakan, “Panggilan Gereja bukan saja menginjili orang-orang yang belum percaya, tapi setelah bertobat, mereka perlu diajar. Kata kerja “ajarlah” yang dimaksud dalam ayat ini adalah dimuridkan. Pemuridan adalah suatu proses membantu umat Allah bertumbuh menjadi semakin menyerupai Kristus dalam perasaan, pikiran, dan perbuatannya. Menurut Irvin A. Busenitz, ada empat wilayah di mana orang Kristen perlu bertumbuh menyerupai Kristus, yaitu: 1. Kehidupan moral (1 Tim. 3:2-3); 2. Kehidupan rumah tangga (1 Tim. 3:4-5); 3. Kedewasaan (1 Tim. 3:6); 4. Reputasi (1 Tim. 3:7-8).[6]  Keempat dimensi ini perlu dihadirkan manakala seseorang ingin mengukur sejauhmana ia adalah seorang guru yang baik.  Ada beberapa hal yang berhubungan dengan aplikasi pendidikan/pengajaran (dida,skontej) sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan Yesus, yaitu:
1.    Mendidik dengan Teladan (Teaching by doing)
Pada prinsipnya semua orang dapat menjadi guru; tetapi perlu disadari konsekuensinya. Yang termasuk guru di sini tidak hanya mereka yang memiliki karunia khusus sebagai guru, akan tetapi juga mereka yang terpanggil sebagai seorang gembala, pemimpin gereja, pemimpin organisasi Kristen, misionaris, pengkhotbah atau siapa saja yang memberikan arahan kepada orang lain.  Pada mereka melekat amanat/tugas mengajar (guru).
      Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus adalah Guru Agung (Yoh. 3:2; 13:13). Ia adalah Rabi Agung di atas segala rabi lain sebagaimana disaksikan oleh Yohanes.  Yesus Kristus memiliki wewenang yang meliputi berbagai unsur baik ilahi maupun insani.  Yesus sebagai Guru Agung telah mewujudkan kebenaran di dalam hidup-Nya secara sempurna.  Artinya, Ia telah hidup di dalam kebenaran itu sendiri.
      Perkataan “ajarlah mereka melakukan” (ay. 20) mengandung unsur yang sangat mendasar yang berhubungan dengan kepribadian guru.  J.M. Price dalam bukunya “Yesus Guru Agung” menyatakan, “Perbuatan seseorang lebih berpengaruh daripada perkataannya.  Kebenaran yang diwujudkan adalah satu-satunya kebenaran yang berpengaruh.  Oleh karena itu, setiap guru hendaklah merasa bahwa dirinyalah pelajaran yang terbaik.  Pengaruh yang tidak disadari lebih kuat daripada pengaruh yang disadari”[7] Untuk menjadi guru perlu memastikan bahwa dirinya telah melakukan terlebih dahulu sebelum menyampaikannya kepada orang lain.  Kebenaran ini sangat prinsip. Inilah yang diingatkan oleh Yakobus agar, “janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru ...” (Yak. 3:1) dengan alasan bahwa para guru akan dihakimi lebih ketat daripada orang percaya lainnya. 

2.   Mendidik dengan Hati (Teaching by heart)
      Hati dapat dikatakan sebagai pintu bagi hidup. Dalam tulisan Salomo, ia menasihati pendengarnya dengan perkataan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23). Alasan utama bagi Salomo adalah karena hati adalah sumber keinginan dan keputusan.
      Mengajar adalah tugas mulia yang dibangun atas dasar panggilan suci. Karena itu, seorang guru perlu memastikan apakah ia mendidik dengan hati yang murni atau tidak. Tentu, banyak alasan dan motivasi seseorang menjadi guru. Namun, Yesus Kristus telah meletakkan dasar bahwa mengajar itu harus total. Mengajar perlu melibatkan totalitas hidup. Inilah yang dimaksudkan oleh Yesus Kristus tatkala Ia menyatakan, “dida,skontej auvtou.j threi/n“ (ay. 20) yaitu mengajar dengan melakukan -- atau lebih tepat menaati kebenaran dengan sungguh-sungguh.  Kalau tidak demikian, akan terjebak dengan motivasi yang salah – kepalsuan – dengan orientasi kognitif, materi, nama, atau jabatan semata-mata.  Karena itu, Max Lucado dalam bukunya, “Just Like Jesus” mengemukakan bahwa sifat Kristus yang terutama adalah ‘hati-Nya bersifat rohani”[8] yang mesti diteladani oleh pendidik dan para pelayan Tuhan dalam berbagai kategori pelayanan.


3.   Mendidik sesuai Perintah (Teaching by direction)
      Dasar pengajaran kekristenan adalah Alkitab.  Alkitab adalah petunjuk (direksi) yang paling utama untuk menata hidup dan kehidupan pada tingkat yang lebih baik.  Hal inilah yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus Kristus dalam amanat agung-Nya yang menyatakan bahwa apa yang diajarkan harus searah dengan apa yang diperintahkan (pa,nta o[sa evneteila,mhn u`mi/n). Artinya, ketika melakukan tugas mengajar, tidak berada di luar dari prinsip-prinsip kebenaran itu sendiri.  Di zaman sekarang, tampaknya pengajaran palsu telah melanda kawasan kehidupan yang sangat fundamental bahkan menyentuh seluruh dimensi kehidupan.  Kebenaran Alkitab telah diganti oleh kebenaran dunia – kebenaran perasaan, dan benaran rasio.  Karena itu, diperlukan daya dan kualitas sensitivitas kita terhadap pengajaran yang sudah, sedang, dan akan diajarkan serta memegang teguh prinsip dan kebenaran Alkitab sebagaimana diamanatkan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada para murid-Nya dan kepada kita semua. Semangat reformasi yang berpijak pada sola scriptura menjadi direksi yang harus dijunjung tinggi.

Konklusi
      Melalui pendidikan seseorang dapat mengalami perubahan karena sifat dari pendidikan itu sendiri adalah proses perubahan.  Perubahan itu harus menyentuh semua aspek. Tidak hanya, aspek kognitif, afektif, psikomotorik tetapi juga aspek spiritualitas.  Zaman sudah berubah dan cenderung menampakkan tanda-tanda degradasi moralitas dan spiritualitas bahkan sudah sampai pada ambang emergensi yang mesti diantisipasi oleh semua pihak.  Media Reformata Edisi 139 Tahun IX bulan Mei 2011 dalam kolom Surat Pembaca yang dikutip dari koran nasional dengan menuliskan hasil survei/penelitian terhadap siswa.  Hasil yang mengagetkan kita semua bahwa sebanyak 49% dari siswa/responden menyatakan bahwa mereka setuju budaya anarkis dengan mengatasnamakan agama.  Survai ini adalah bagian kecil dari apa yang sedang terjadi dalam proses kehidupan di Indonesia.  Apa yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan kita? Tentu, semua elemen dan berbagai pihak perlu bertobat sungguh-sungguh dan bertanggung jawab untuk melakukan edukasi yang benar. Dalam konteks kekristenan, Tuhan Yesus mengamanatkan pengajaran yang merupakan bagian utuh dari amanat agung-Nya; dan pengajaran-Nya itu sangat relevan untuk menjadi jawaban bagi semua persoalan hidup pada zaman ini.  Soli Deo Gloria.


[1]Bandingkan dengan paparan dalam situs www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html secara khusus dalam kolom Tujuan Pendidikan Nasional dan id.wikipedia.org/wiki/Plato.
[2]Perhatikan penjelasan B.F. Drewes, dkk. dalam buku “Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 561.
[3]Bandingkan dengan tulisan Ferdinan K. Suawa dalam Buku “Memahami Gramatika Dasar Bahasa Yunani Koine”. Bandung: Kalam Hidup, 2009, hlm. 193.
[4]Bandingkan dengan penjelasan di dalam BibleWorks.
[5]Dikutip oleh William Liem dari buku Rick Warren, The Purpose Driven Church” hlm. 104.
[6]Perhatikan penjelasan William Liem yang dikutip dari ide dasar Irvin A. Busenitz, “Training for Pastoral Ministry,” hlm. 121.
[7]J.M. Price, Yesus Guru Agung. Bandung, LLB, t.t., hlm. 5.
[8]Max Lucado, Just Like Jesus, Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010, hlm. 19.

0 komentar:

Posting Komentar