DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL:
SEBUAH PERSPEKTIF TEOLOGI SISTEMATIKA

oleh Nasokhili Giawa

        Harus diakui bahwa ajaran atau pengajaran tentang Allah Tritunggal adalah ajaran dan pengajaran Kristen yang menyedot banyak energi di sepanjang sejarah kekristenan.  Doktrin ini merupakan doktrin eksklusif dan khas karena didebat, dibantah, disanggah, bahkan dihindari oleh orang-orang yang tidak mampu memahami secara logika dan spiritual sehingga disebut sebagai doktrin yang fundamental bagi iman Kristen. Perdebatan dan bantahan ini sangat terasa pada abad pertama sampai abad ketiga Masehi sehingga melahirkan konfesi-konfesi yang menegaskan tentang eksistensi ketritunggalan itu sendiri. Para tokoh agama, para teolog, dan pemerhati spiritual berupaya memberikan rumusan substantif terhadap ajaran dan pengajaran Allah Tritunggal.  Alhasil, masih menyisakan banyak perdebatan dan pertanyaan. 
Ajaran Tritunggal-Trinitas
        Ajaran atau pengajaran Tritunggal – Trinitas memiliki landasan yang kuat dan yang bersumber dari Alkitab baik Perjanjian Lama (Pertama) maupun Perjanjian Baru (Kedua).  Paul Enns menjelaskan bahwa “memang tidak ada pernyataan yang pasti dan eksplisit di Perjanjian Lama mengafirmasikan Tritunggal, namun tidaklah salah untuk mengatakan bahwa beberapa ayat di dalam Perjanjian Lama menyetujui Tritunggal dan mengimplikasikan bahwa Allah adalah keberadaan yang Tritunggal” (Paul Enns 2004:246).  Meskipun Tertullianus (Bapak Gereja/Teologi Latin) baru menggunakan kata Tritunggal pada abad kedua Masehi, namun barulah pada abad keempat kata tersebut mendapat tempat resmi dalam teologi Kristen.
        Untuk memahami ajaran ini memerlukan sikap kehati-hatian karena dapat menimbulkan ajaran dan pengajaran yang keliru dan cenderung menyesatkan. Adanya pemahaman parsial, dapat melahirkan keyakinan beragam yaitu percaya pada tiga Allah (politeisme) seperti yang diajarkan oleh John Ascunages; atau Allah yang satu menggunakan tiga wajah dalam tubuh yang satu seperti yang diajarkan oleh sebelianisme atau modalisme; atau henoteisme yaitu kepercayaan politeis yang hanya percaya pada satu yang tertinggi seperti tergambar dalam ajaran arianisme.  Dalam perspektif Alkitab, ketiga pandangan ini adalah keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana seharusnya kita memahaminya?
Konsep Monoteisme
        Dalam sebuah ulasan biblis, Stephen Tong menyatakan bahwa doktrin Tritunggal termasuk monoteisme, yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa.  Dan Allah yang Esa itu mempunyai tiga Pribadi, bukan satu. Pribadi pertama adalah Allah Bapa, pribadi kedua adalah Allah Anak (Yesus Kristus), dan Pribadi ketiga adalah Roh Kudus.  Tiga Pribadi bukan berarti tiga Allah, dan satu Allah tidak berarti satu Pribadi (1990:20).  Jadi, Allah yang diperkenalkan dan disaksikan oleh Alkitab adalah Allah Tritunggal.  Allah yang mempunyai satu substansi Ilahi (Yunani: ousia) dan tiga Pribadi (Yunani: prosopon) yang dipanggil sebagai Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus.  Penggunaan kata penghubung “dan” memperlihatkan eksistensi Pribadi yang berbeda tersebut.  Dalam konteks ini, doktrin Allah Tritunggal mengajarkan kepercayaan monoteisme yaitu percaya kepada satu Allah dan bukan banyak Allah.  Banyak ilustrasi untuk menjelaskan tentang Allah Tritunggal tetapi tidak mampu untuk mengungkapkan misteri dari ketritunggalan tersebut. Diagram kuno dari Tritunggal memberikan pencerahan tentang penjelasan Allah Tritunggal sebagaimana dijelaskan oleh Paul Enns dalam bukunya “the Moody Handbook of Theology”: Buku Pegangan Teologi Jilid 1).  Dari diagram tersebut memperlihatkan bahwa Bapa bukan Anak atau tidak sama dengan Anak.  Anak bukan Roh Kudus atau tidak sama dengan Roh Kudus. Roh Kudus bukan Bapa atau tidak sama dengan Bapa.  Namun, Bapa adalah Allah; Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah yang berada dalam substansi yang esa sebagaimana disaksikan dan dibuktikan oleh Alkitab.
Kata “Echad” dan “Yachid” dalam Hubungan dengan Allah Tritunggal
        Kitab Ulangan menggarisbawahi bahwa “... TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!” (Ulangan 6:4).  Teks Ibrani, “אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהוָ֥ה׀ אֶחָֽד׃“ (Elohenu Yehwah echad) menjelaskan tentang signifikansi dari kata “echad” itu sendiri kepada umat Allah, bangsa Israel yaitu bahwa Allah yang disembah adalah Allah yang Esa. Menurut BibleWorks, kata “echad” digunakan dalam beberapa pengertian: satu, sama, tunggal, masing-masing, sekali ketika.  Kata ini lebih diartikan sebagai gabungan kesatuan atau satu kesatuan.  Konsep ini tidak hanya menjelaskan tentang keunikan dari Allah yang diimani oleh umat Kristen tetapi juga kesatuan dari Allah yaitu kesatuan dari penyatuan.  Dalam kata “echad” mengandung dua unsur atau lebih -- yang disatukan.  Kata lain yang sering dicampuradukkan adalah kata “yachid” sebagaimana digunakan dalam beberapa ayat Alkitab seperti peristiwa penyembelihan anak Abraham yang satu-satunya kepada Allah sebagaimana dikisahkan dalam Kejadian 22:2.  Kata yang digunakan dalam ayat ini bukan “echad” tetapi “yachid” (אֶת־יְחִֽידְךָ֤) yang mengandung pengertian satu-satunya anak yang dipersembahkan atau disembelih. Kata ini tidak mengandung pengertian ‘esa’ seperti yang terdapat pada kata “echad” yang merujuk pada Allah Tritunggal.
Sikap Terhadap Ajaran atau Pengajaran Allah Tritunggal

        Ajaran tentang Allah Tritunggal adalah ajaran Alkitab. Hal ini hanya dimengerti apabila meyakini bahwa segala kebenaran Tritunggal berasal dari Sang Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Bukan dari ciptaan sebagaimana disaksikan oleh Alkitab itu sendiri.  Tentu saja, dalam artikel ini tidak mungkin memberikan penjelasan yang komprehensif tentang Allah Tritunggal namun mengajak pembaca untuk menyikapinya dengan hikmat Allah. Karena itu, saya setuju dengan sikap yang dikemukakan oleh Stephen Tong tatkala mempelajari doktrin Allah Tritunggal, yaitu: Pertama, Allah Tritunggal adalah Allah yang besar, Allah yang terbesar, yang tidak terbatas, maka wajar jika kita menemukan kesulitan besar di dalam mempejalarinya. Kedua, pada saat mempelajari doktrin/ajaran Tritunggal, kita bukan hanya menyelidiki konklusi dogma yang sudah didiskusikan selama berabad-abad, melainkan juga kita sedang belajar dari Dia yang tetap mengawasi dan memimpin hidup kita. Ketiga, doktrin Tritunggal memang sulit dipelajari karena melampaui rasio manusia (supra-rasional).  Hal ini bukan berarti bertentangan dengan rasio (kontra-rasional). Allah di dalam kedaulatan kehendak-Nya telah memberikan batasan kemampuan kepada segenap ciptaan untuk memahami diri-Nya sehingga Ia berkata, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya ...” (Ulangan 29:29).