ROMANTIS SAMPAI AKHIR

oleh Nasokhili Giawa

Dari benih bertabur daging
Berkisah nikmat dalam sentosa
Bertumbuh mekar dalam lingkar waktu
Basah berkeringat menabur sorai menuai bahagia

Bau bunga melati, bau bunga mawar tercium mewangi sepanjang bersama
Sang pejuang bergandengan tangan, mesra bersiul santai ...  
Anak ingusan sedang bercanda, anak muda meniru teladan
Sang dewasa berlega ria memadukan nada

Di umur dulu saling berbagi, membiasa hingga di ujung
Sepanjang umur saling berbagi, bersantai ria dalam basah dan kering
Berjalan maju pantang mundur, bergegas meraih akhir
Melangkah tegap bernapas tanpa keluhan

Dari pagi hingga senja dan dari dulu hingga sekarang
Sang pejuang berenda isi menabur benih melahirkan keindahan
Menjala harga, menjala ceria, menjala nama dalam kebanggaan

Tanpa abai, tanpa lalai merangkai romantika hingga akhir meninggalkan warisan ...

SANG DEBU YANG BERHARGA

oleh Nasokhili Giawa


Dicipta dari Debu, dirangkai untuk hidup
Mempesona dalam keindahan menggelora dalam kemewahan
Dalam ruang tanpa ujung, dirancang bertujuan
Didesain istimewa dihadirkan dalam kebanggaan

Debu berbalik arah tertiup ringan dalam kegelapan
Menari dalam remang membahana dalam sosok kehampaan
Daya nalar terkuras habis linglung di dalam bingung
Mengembara dalam khayal mengharapkan jalan pintas

Kebebasan tak bersengat berlaga di medan sandiwara
Titik janji tergenapi dalam realita hidup baru
Itu bukan untung, itu bukan kebetulan, bukan juga tanpa alasan
Hadir karena Cinta, hadir karena belas kasihan

Sang Cinta tercabik, terkoyakkan di jalan derita
Membayar mahal dengan tunai, membayar lunas tanpa utang
Sang Cinta rela menyanyi dalam derita, menyanyi demi kekasih
Memberi tanpa meminta, memberi dalam ketulusan ...


MENGAPA EMOSIKU SALING BERTABRAKAN?

oleh Nasokhili Giawa

Jujur, kadang-kadang, aku tidak tahu siapa aku sebenarnya
Dalam diam aku memuji diri
Dalam diam aku pun menangisinya
Tak kuasa aku menahannya; hingga aku tidak mampu menghela nafas

Jujur, kadang-kadang, aku malu pada diriku
Kadang aku tertawa penuh tanya
Kadang aku bersandiwara tak berujung
Bergerak dalam desakan nurani ... bertabrakan dalam ambisi jiwa

Jujur, kadang-kadang, aku berpuas pada cermin
Kadang memandangnya penuh bangga; kadang bercampur sedih penuh rasa
Ternyata, nafsu inderaku mulai terganggu ...
Urat sarafku kusut menjuntai tak karuan ...

Lalu, aku mulai sadar dan meletakkan diriku dalam bingkai bermotif
Menundukkannya sampai landasan
Menertibkannya di Tiang Ukiran
Hingga emosiku berdamai dalam kelegaan ...

MERDEKA DALAM GENGGAMAN

oleh Nasokhili Giawa


Cakrawala raya membisu mengukir hampa
Debu melayang bersorak malang
Menjerit menggelepar tanpa pegangan
Merintih dalam gelap meraih badai menyesakkan rongga

Butiran debu menghalau napas; pepohonan tak membela
Gunung, lembah, laut tiada sopan
Akal, asa ... terhempas tiada daya
Membisu tiada senyum, berucap tiada canda

Dalam bodoh yang lugu melihat Genggaman
Dari sayup mendekat menyapa penuh ramah
Genggaman menyimpul dalam sapa kasih penuh harap
Menyejukkan kekeringan membelai penuh damai

Merdeka dalam roh dan jiwa, merdeka dalam raga
Berjalan penuh berani menggapai harapan
Tak akan takut, tak akan malu, tak akan berhenti

Hingga meraih damai sejahtera dalam Genggaman ...

ARTI KASIH MENURUT RASUL PAULUS
I Korintus 1:1-13

oleh Nasokhili Giawa

Introduksi

Tepat hari ini dikenal dengan hari kasih sayang (valentine’s day).  Hari kasih sayang dipahami dalam berbagai versi. Gereja Katolik umumnya merayakannya tepat tanggal 14 Februari (Barat), sementara Gereja Ortodoks merayakannya setiap tanggal 7 Juli (Timur). Kisahnya pun beragam. VD konon berasal dari kisah hidup seorang Santo yang rela menyerahkan nyawanya demi cinta. Dia disebut Santo Valentinus. Menurut mitos Santo Valentinus meninggal pada tanggal 14 Februari.  Perlu diketahui bahwa VD telah diadopsi menjadi budaya bangsa dan budaya gereja. VD merupakan hasil adopsi Lupercalian Festival (Dewa Lupercalia) yang dilakukana oleh Paus Gelasius yang sebenarnya telah dihapus oleh gereja pada tahun 1960an. Pengadopsian tradisi dan kepercayaan paganisme di Roma ini dilakukan oleh para penginjil agar masyarakat kota tersebut mau menerima kekristenan.  Usaha ini tidak sia-sia, terbuksi dengan diterimanya Kristen sebagai agama resmi kekaisaran Romawi dalam masa kekaisaran Konstantin.  VD bukanlah ajaran Kristen yang sesungguhnya (walaupun berbalutkan Kristen). VD sarat dengan nafsu, sarat dengan kasih kamuflase/palsu, sarat kebohongan, sarat dengan lambang-lambang sementara (coklat, bunga, dsb.). Alkitab memberi arti kasih secara lengkap seperti yang dikemukakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. Apa arti kasih menurut rasul Paulus?

I.    Kasih harus didasarkan pada ketulusan (ay. 1-7)

      Bila kita membaca ayat 1-3, kita akan menemukan perbuatan kasih yang tidak dibangun atas ketulusan. Ayat 1 menyatakan bahwa “sekalipun aku dapat berkat-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat digambarkan identik dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing”. Ayat 2 menyatakan, “sekalipun mempunyai karunia, berpengetahuan lebih (memahami rahasia), beriman sempurna (memindahkan gunung) identik dengan orang tidak berguna. Hal menarik pada ayat 3 dan mungkin kita salah prediksi dan penafsirannya, yaitu membagi-bagikan segala sesuatu yang ada, menyerahkan tubuh untuk dibakar, justru dikatakan sedikit pun tidak ada faedahnya. Lalu, apa yang hendak disampaikan oleh rasul Paulus? Ternyata, kasih itu harus didasarkan pada ketulusan. Bila melakukan sesuatu harus melakukan dengan ketulusan. [Tadi malam ada info yang diposting oleh boksu Pangestu tentang Pak Ahok yang mengangkat keranda mayat ibu angkatnya yang bernama Misribu].  Dalam tulisan itu sangat memuji tindakan Pak Ahok dengan menyatakan, “Ahok, you are simply the best” dengan catatan tambahan “Yang kayak gini, gak usah khotbah agama doang, tetapi tindakannya sudah menunjukkan pribadinya”. Saya sangat memahami isi postingan itu, hanya saja saya memberi ulasan “Kiranya Tuhan memberkati segala ketulusanmu dengan limpah”. Btw, ini menjadi salah satu modal menuju 2017 yad”.  Saudaraku ... kasih itu harus dibangun atas ketulusan seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus. Jangan merasa diri berjasa besar. Kalau ada yang dikerjakan, kerjakanlah dengan setia. Kalau ada yang dipersembahkan, persembahkanlah dengan tulus. Tidak boleh ada udang di balik batu, dsb. Kriteria kasih yang tulus dikemukakan oleh rasul Paulus dengan menyatakan kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, harus sopan, tidak boleh egois, tidak pemarah, bukan pendendam [hati-hati yang suka cerita kesalahan orang lain], tidak bersuka cita atas ketidak-adilan, senang kebenaran, menutupi segala sesuatu yang dianggap tidak bernilai, percaya dan berharap kepada Allah, dan menerima segala kondisi.

II.   Kasih harus berkelanjutan (ay. 8-13)

      Ketika rasul Paulus membandingkan antara iman, pengharapan, dan kasih, maka rasul Paulus menempatkan kasih sebagai yang paling besar. Paling besar karena kasih itu tidak dapat dibendung oleh apa pun juga.  Iman adalah karunia yang hanya sementara. Pengharapan adalah karunia yang juga bersifat sementara. Namun, kasih bersifat mengikat dan abadi. Itulah sebabnya, rasul Paulus menyatakan dalam ayat 8 bahwa kasih itu tidak berkesudahan. Nubuat bisa berakhir, bahasa roh bisa berhenti, pengetahuan yang spektakuler akan berhenti dan lenyap, tetapi kasih langgeng untuk selamanya.  Kasih itu harus berkelanjutan.  Ia tidak mengenal batas akhir.  Saudaraku, Alkitab menyatakan bahwa hidup ini adalah sementara.  Kita tidak tahu kapan Tuhan menyatakan bahwa “haia, berhentilah anakku” (bagi yang taat) ... atau berhentilah manusia jahanam (bagi yang tidak taat), namun, Tuhan mengingatkan kita agar hidup dalam kasih yang berkelanjutan. [contoh: mati sama-sama dalam ketuaan].

Konklusi
      Arti kasih menurut rasul Paulus: Pertama, kasih harus didasarkan pada ketulusan; Kedua, kasih harus berkelanjutan. Kiranya Tuhan Allah membantu kita agar mampu melakukan kebenaran ini dengan setia. Amin.

GEREJA YANG PEDULI DAN BERBAGI

II Korintus 8:8-15

oleh Nasokhili Giawa

Introduksi

      Saya bersyukur kepada Tuhan karena ada kesempatan menyampaikan firman Allah dalam acara Ulang Tahun ke-66 PGI sebagai perwujudan kerja sama dan komunikasi nyata PGI dengan gereja-gereja di Indonesia terutama Gereja Kemah Injil Indonesia. PGI telah terlahir di bumi pertiwi, Indonesia pada tanggal 25 Mei 1950 (66 tahun yang lalu).  Patut kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia telah berkarya di tengah-tengah kehidupan bangsa dan negara teristimewa di tengah-tengah gereja di Indonesia.  Umur yang telah melebihi setengah abad membuktikan kematangan dan menandai kedewasaannya untuk berkiprah lebih di tengah-tengah gereja-gereja di Indonesia.  GKII lahir pada tahun 1928 (88 tahun yll) dan baru menjadi anggota PGI pada tahun 2006 (baru 10 thn) dengan nomor punggung 85. Lahir lama tetapi menjadi anggota PGI di kemudian hari. Tetapi, tidak mengapa, Alkitab menyatakan (Mat 19:30), yang terdahulu dapat menjadi yang terakhir dan yang terakhir bisa menjadi yang terdahulu.

      Pada kesempatan ini, selain bersyukur kepada Tuhan, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada PGI karena telah memberi kepercayaan kepada GKII sebagai tuan/nyonya rumah dalam rangka mensyukuri Ulang Tahun pelayanan PGI ke-66 Tahun 2016 ini. Kami sangat mengapresiasi dan berterima kasih banyak. Momentum seperti ini sangat berharga dan tentu merupakan bagian dari pertanggungjawaban semangat ekumenis dalam konteks gereja-gereja di Indonesia. Saling mengenal, saling menyapa, saling berkunjung, saling berbagi, saling berbagi pandangan (bukan saling pandang-memandang); termasuk berbagi makanan merupakan dambaan kita bersama. Bila ketersalingan ini tercipta di tengah-tengah kita akan melahirkan kerukunan, kedamaian, kesejahteraan yang permanen. Inilah yang dikatakan oleh penulis Ibrani yang menyatakan “he filadelfia meneto” (peliharalah kasih persaudaraan). Meneto artinya tinggal tetap/permanen. Permanenkahlah kasih persaudaraan. Menurut pengamatan saya, inilah yang dicita-citakan oleh para pendiri PGI sejak awal.

      Merujuk pada tema Ultah PGI ke-66 Tahun 2016 ini yaitu “Gereja yang Peduli dan Berbagi” merupakan tema yang sangat relevan dengan kehidupan kita sebagai Gereja (G) umat Allah maupun gereja (g) sebagai organisasi/persekutuan pada zaman ini. Perlu kita sadari bahwa kita sedang berada pada akhir zaman. Berbagai ancaman kita saksikan. Pemberontakan terjadi. Pembunuhan sadis terjadi. Pemerkosaan sadis mengemuka. Korupsi merajalela, narkoba menjadi trend. Tiada hari tanpa berita narkoba; berita sedih; berita pembunuhan, dst. Gereja dihadang oleh berbagai tantangan zaman ini. Gereja dihadang oleh egosentrik masing-masing. Gereja dihadang oleh urusan pribadi2. Gereja tampak absen menerjemahkan pesan-pesan Allah; pesan kebaikan dan kasih yang bersifat universal itu. Teori nomor satu, abai melakukannya. Karena itu, bagaimanakah tanda-tanda gereja yang peduli (cares) dan berbagi (sharing) ini?

I.    Gereja Yang Peduli dan Berbagi adalah Gereja yang Mengenal Visi dan Misi Yesus Kristus (ay. 8-9 bdk. ayat 3)

    Rasul Paulus dengan gamblang menjelaskan visi dan misi Yesus Kristus terhadap dunia ini.  Ia menegaskan dalam ayat 9 bahwa Ia yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.  Artinya, Yesus Kristus datang memperkaya kita dengan kepedulian-Nya. Yesus datang memperkaya kita dengan kebenaran-Nya. Yesus datang memperkaya kita dengan menunjuk jalan, kebenaran, dan hidup. Inilah yang menjadi alasan rasul Paulus ketika perjumpaannya dengan Kristus menyebabkan dia siap mempertaruhkan segalanya, termasuk mempertaruhkan nyawanya. Filipi 1:21 yang merupakan penegasan rasul Paulus sekaligus menjadi ayat favoritnya Pak Gubernur, Basuki Tjahaya Purnama bahwa bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Bahkan, konsep dan komitmennya terhadap misi itu sangat jelas yaitu “celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (I Kor. 9:16). Ketika pengenalannya terhadap misi Yesus Kristus menjadi jelas, ia menganggap semua yang dimilikinya, semua kebanggaannya, semua ornamen2nya dianggap sebagai sampah (skubala).

      Saudaraku ... sejarah mencatat bahwa ebrio lahirnya DGD/PGI dimulai dari semangat bermisi (semangat zending, pekabaran Injil sedunia).  Jangan lupa itu.  Konferensi Zending tahun 1910 di Edinburgh dan Konferensi DGD pertama di Amsterdam 1948 menggarisbawahi tentang pentingnya gereja yang bersaksi.  Bersaksi tentang Yesus. Bersaksi tentang siapa Yesus. Bersaksi tentang bagaimana kasih dan kepedulian Yesus Kristus.

II.   Gereja yang Peduli dan Berbagi adalah Gereja yang Bertindak Aktif (ay. 10-15)

      Rasul Paulus menyaksikan bagaimana kepedulian jemaat-jemaat Makedonia. Mereka memberi bukan karena mereka kaya. Sebagian besar jemaat-jemaat di Makedonia berkekurangan walaupun ada juga yang memiliki kemampuan lebih. Itu yang disaksikan dalam pada ayat 2. Rasul Paulus mencatat bahwa sekalipun mereka dalam penderitaan yang berat, akan tetapi mereka kaya dalam kemurahan (Bdk. Orang Samaria yang murah hati di dalam Lukas 10; berbelaskasihan). Bahkan pemberian mereka melampaui kemampuan mereka. Kata melampaui dalam bahasa asli, Yunani disebut huper = di atas, beyond, over; berbeda dengan kata “epi” dalam posisi preposisi/kata depan). Kata ini menegaskan bahwa pemberian mereka melampui logika manusia. Jauh di atas rata-rata (ingat cara memberi orang). Inilah yang disampaikan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Korintus bahwa ketika kita membantu pekerjaan Tuhan, membantulah tanpa menghitung untung-rugi. Jangan melibatkan teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang menyatakan bahwa perilaku memberi ditentukan oleh sejauhmana keuntungan yang didapatkan melebihi kapasitas memberi.

      Saudaraku ... Saya menggarisbawahi beberapa hal bahwa gereja yang peduli dan berbagi adalah gereja yang bertindak. Bertindak memberi. Gereja yang peduli dan berbagi adalah gereja yang menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai gereja.  Sebaliknya, gereja yang tidak peduli dan tidak berbagi adalah gereja yang mati. Mati dalam keengganan (mati tidak mati, hidup tidak hidup, Yohanes menyebutnya suam-suam kuku).  Zaman terus berubah dan sudah menunjukkan tanda-tanda keganasannya; menghajar tanpa peduli.  Sikap keegoisan mengemuka. Sangat jauh dari semangat kehidupan gereja mula-mula. Ada gap, ada kotak-kotak yang membuat mata kita tertutup dan gelap. Sikap eksklusivitas pun menjadi jargon merusak relasi. Menutup akses untuk melihat dunia. Teknologi menjadi andalan. Semangat kebersamaan mulai menipis; menghajar tanpa belas kasihan. Dalam kerumitan dan kendala seperti ini, firman Tuhan mengingatkan kita untuk peduli dan berbagi. Misi Yesus Kristus sangat jelas bahwa Ia peduli dengan orang-orang teraniaya, peduli dengan orang-orang terpinggirkan, peduli dengan kemiskinan, peduli dengan kelaparan dan kekuatiran para murid, peduli dengan Bartimeus yang buta (Markus 10), peduli dengan orang lumpuh yang digotong oleh 4 orang yang dikisahkan dalam Markus 2, Ia peduli dengan perempuan sundal, Ia peduli dengan acara pernikahan di Kana (Yohanes 2). Ia peduli dengan anak2, Ia peduli dengan kegalauan kita saat ini. Salah satu lagu rohani terfavorit yang dikarang oleh Ir. Djohan Handojo “Kumau seperti-Mu Yesus” – Bagaikan bejana. Lagu itu bagus tetapi perlu dikritisi. Mau seperti apa? Tirulah dan lakukanlah!

Konklusi

      Bagaimanakah gereja yang peduli dan berbagi itu? Pertama, gereja yang peduli dan berbagi adalah gereja yang mengenal misi Yesus Kristus; Kedua, gereja yang peduli dan berbagi adalah gereja yang bertindak. Bertindak sekarang; bertindak riil; bertindak sesuai dengan rambu-rambu kebenaran Allah. Apa dan bagaimana pun jabatan kita; kita semua adalah Gereja (umat Allah) yang telah terhimpun dalam wadah PGI, marilah kita bertindak untuk kemaslahatan bangsa dan negara dan gereja-Nya.
BELAJAR DARI KEKAYAAN JEMAAT SMIRNA

Wahyu 2:8-11

oleh Nasokhili Giawa

Introduksi

      Kitab Wahyu memuat tentang penglihatan-penglihatan Yohanes ketika ia berada di pulau Patmos.  Ia dapat melihat kondisi jemaat-jemaat di Asia kecil secara hati; sekalipun tidak melihat secara mata jasmani.  Salah satu yang dilihat secara hati tersebut adalah jemaat di Smirna yang memiliki kekayaan rohani yang patut diteladani; suatu kekayaan yang bernilai kekal. Kekayaan yang dapat ditularkan kepada orang lain. Saudaraku, apa kekayaan jemaat Smirna tersebut?

I.    Kekayaan dalam Perbuatan Baik (ay. 8-9)
      Jemaat Smirna dibedakan dengan jemaat Iblis (Satana/Musuh). Jemaat Smirna penuh dengan kebaikan.  Zaman sekarang, kita sedang dihajar dengan kampanye kebencian seperti yang dipraktikkan oleh para teroris sekelas ISIS, sekelas haters2 Pak Ahok, Pak Jokowi, Ibu Risma, Pak Ridwan Kamil.  Kita dihajar oleh bom bunuh diri, dsb. [Entah apa yang ada di dalam hati mereka sehingga mereka senang kematian sebelum waktunya]. Kita dihajar dengan perilaku koruptif; perceraian; perilaku seks bebas; pelecehan seksual, dsb. Kita dihajar oleh ajaran-ajaran sesat seperti yang dilakukan oleh kaum LGBT yang baru2 menjadi trend topic media umum maupun Kristen apalagi pasca dikeluarkannya surat pastoral PGI. Kita dihajar dengan teologi kemunafikan ala orang-orang Farisi yang telah menjalar ke dalam sendi-sendi kehidupan kekristenan.  Kita dihajar oleh kebohongan2 agamis, kebohongan2 rohaniah, dsb. yang disebut sebagai jemaat Iblis (ay. 9). Pengamatan saya bahwa terlalu kaku praktik hidup beragama; terlalu kaku praktik hidup bergereja. Padahal, praktik hidup beragama dan bergereja itu adalah berbuat kebaikan, berbuat kebajikan terhadap sesama [ingat 6 tetangga yang berikan ketupat tahun ini – meningkat dari tahun lalu]. Begitu sederhana. Senyum dan mengulurkan tangan adalah bagian dari kebaikan. [Ingat slogan GKII Vila Mahkota Pesona, Bekasi: Senyum, Sapa, Simpati]. Ingat orang Samaria dalam Lukas 10; Keempat orang penggotong orang lumpuh dalam Markus 2; Yesus Kristus dengan contoh2 konkrit -- telah memperkaya kita dengan cara bagaimana berbuat baik itu. Apakah kita sedang kaya dalam perbuatan baik atau sangat miskin?

II.   Kekayaan dalam Stamina Menghadapi Penderitaan (Yun. Paskhoo) - (ay. 9-10)
      Dalam firman Allah yang telah kita baca, kita dapat menyaksikan pujian yang dialamatkan kepada jemaat Smirna [memuji itu penting; memuji dengan jujur]. Pujian tersebut disebutkan di dalam ayat 9 yang menyatakan bahwa mereka kaya secara rohani sekalipun dalam sejarah peradaban mereka pernah mengalami serangkaian penderitaan antara lain perampokan, kebakaran, dan kehancuran.  Kondisi ini tidak membuat mereka putus asa. Tidak membuat mereka patah semangat. Salah satu negara yang saya kagumi di muka bumi ini adalah Jepang.   [Pengalaman bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki tahun 45 saat PD kedua; pengalaman gempa bumi dan tsunami selama bertahun-tahun; tidak membuat mereka cengeng. Justru menjadi cambuk untuk maju]. Jemaat di Smirna mungkin agak berbeda dengan Jepang. Namun, ada kesamaannya yaitu dengan stamina pengharapan yaitu mereka tetap teguh berjuang untuk bangkit. Potensi penderitaan mengiring Tuhan pasti ada. Mungkin tingkat penderitaan/kesusahan kita berbeda-beda. Namun, Allah yang disebut Yang Awal dan Yang Akhir itu berjanji akan memberikan jalan keluar. Seberapa strong kualitas stamina kita menghadapi penderitaan?

III.  Kekayaan dalam Kesetiaan (Pistos) - (ay. 10-11)
      Nasihat Yang Awal dan Yang Akhir (Yesus Kristus) kepada jemaat Smirna dan kepada kita hari ini agar setia sampai mati (Yun: thanatos). Mendengarkan Tuhan dan nasihat-Nya dengan setia. Saudaraku ... zaman sekarang begitu langka orang yang setia. Susah mendapatkan orang yang setia. Namun, Tuhan mau menyadarkan kita agar kita tetap setia sampai mati. Setia kepada Tuhan Yesus sampai mati. Setia kepada pasangan masing-masing sampai mati. Setia kepada Tuhan melalui gerejanya. Setia beribadah di GKII Ekklesia. Setia mengabdi di mana kita ada sekarang.  Saya berani berkhotbah tentang kesetiaan karena sedang ada dalam rel kesetiaan. Saya berada di GKII Ekklesia dan STTJJ sejak Oktober 1990 dan setia sampai sekarang. Beberapa orang pendahulu telah berpindah hati karena kualitas kesetiaan mereka yang tergolong rendah.  Saya yakin bahwa jemaat GKII Ekklesia tetap setia beribadah kepada Tuhan; apapun kondisinya. Tuhan berfirman bahwa orang yang kaya dalam kesetiaan, ia akan menikmati akhir kehidupan yang penuh kemenangan bahkan ada jaminan bahwa pada saat kematian kedua tidak lagi menjadi sumber ketakutan. Rasul Paulus menyatakan, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”.  Pengenalan dan kesetiaannya kepada Kristus membuatnya berbahagia walaupun kematian menjadi taruhan.  Bagaimana kualitas kesetiaan kita?

Konklusi
      Saudaraku, apa kekayaan kita sebagai umat Allah? Pertama, kekayaan dalam perbuatan baik; Kedua, kekayaan dalam stamina menghadapi penderitaan; Ketiga, kekayaan dalam kesetiaan sampai mati seperti yang dicontohkan oleh Yesus Kristus bagi kita. 

MENANGKAL GEJALA DAN FENOMENA AKHIR ZAMAN

Filipi 2:12-18

oleh Nasokhili Giawa

Introduksi

      Salah satu kata kunci rasul Paulus ketika ia mengidentifikasi tanda-tanda akhir zaman adalah terjadinya kebengkokan hati manusia. Dalam Filipi 2 ayat 15 merupakan satu-satunya kata di dalam Perjanjian Baru yang menggunakan kata bengkok ini.  Kemungkinan besar, rasul Paulus menggunakan istilah yang dipakai di dalam Kitab Ulangan yang juga menjelaskan tentang angkatan (generasi) yang bengkok hati. Bagaimana tidak disebut bengkok? Semua yang dipandang baik, benar, lurus, suci, dll. justru yang muncul adalah kebalikannya. Tentu hal ini merupakan antitesis dari apa yang dikatakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Filipi yang menyatakan, “semua yang baik, benar, yang adil, yang suci, yang patut dipuji, dst. pikirkan dan lakukanlah itu” (Filipi 4:8).

      Fakta ‘bengkok’ akhir zaman semakin jelas dan semakin terang. Dulu, kalau orang berbuat salah, akan merasa bersalah, akan merasa malu, dan akan merasa berdosa.  Sekarang, orang yang berbuat salah malah bangga atas kesalahannya. Orang berbuat dosa, justru ia bangga akan dosanya.  Inilah yang dikatakan oleh rasul Paulus dengan istilah ‘bengkok.’ Kata bengkok dalam bahasa asli disebut “σκολις” yang dapat diartikan secara figuratif adalah “crooked, unscrupulous, dishonest “ (bengkok, jahat, atau tidak jujur).  Kondisi inilah yang sedang terjadi pada angkatan akhir zaman ini. Karena itu, bagaimana menangkal gejala dan fenomena akhir zaman?

I.    Mengerjakan Keselamatan Secara Bersinambung (ay. 12)

      Mengerjakan keselamatan bukan berarti mengupayakan agar bisa selamat melalui perbuatan. Tetapi, mengerjakan keselamatan adalah respons kita terhadap keselamatan yang dikerjakan secara tuntas oleh Tuhan Yesus Kristus kepada kita, umat-Nya. Pertanggungjawaban dan respons terhadap karya Tuhan inilah yang merupakan bagian yang mesti dikerjakan. Dalam konteks firman Tuhan ini, kita dituntut untuk:
a.   Hidup dalam ketaatan penuh secara terus-menerus.
b.   Hidup dalam takut dan gentar kepada Tuhan.
c.   Hidup dalam kesetiaan (tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan).

II.   Membuat Perbedaan dalam Perspektif Allah (ay. 15)

      Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah menciptakan kita dengan keunikan dan berbeda dari ciptaan lainnya. Allah menciptakan dan mendesain hidup kita sesuai dengan gambar dan rupa diri-Nya. Keunikan dan perbedaan inilah yang juga Tuhan ingatkan kepada kita melalui firman-Nya hari ini.  Membuat perbedaan tidak berarti membuat keanehan dengan melawan kodrat, melawan hukum, dsb. Tetapi membuat perbedaan adalah dengan menyatakan ‘perang’ terhadap pengaruh dan godaan zaman (angkatan) yang sedang bengkok saat ini dengan mendasarkannya pada firman Allah. Karena itu, melalui firman Allah ini, Allah menghendaki agar kita membuat perbedaan dalam hal:
a.   Tidak beraib, tidak bernoda, dan tidak bercela.
b.   Memancarkan cahaya kemuliaan (ingat GMT yang baru saja kita saksikan -- yang memancarkan cahaya seperti cincin berlian dengan segala keindahannya).
c.   Berpegang dan bermegah pada firman kehidupan sampai akhirnya Tuhan menemukan kita setia ketika kita berjumpa dengan Dia kelak dalam kemuliaan-Nya.
d.   Rela berkorban untuk tujuan yang bernilai kekal.

Konklusi
      Kita sedang berada di akhir zaman dan kita mesti menangkal semua penghancur-penghancur hidup dan kehidupan umat Tuhan. Penghancur-penghancur itu masuk melalui angkatan (Yun: geneas/pemuda). Bagaimana menangkalnya? Pertama, mengerjakan keselamatan secara bersinambung; Kedua, membuat perbedaan dalam perspektif Allah. Perbedaan inilah yang mesti kita gumuli bersama Tuhan sehingga kita dapat mencapai kemenangan abadi. Amin.amatan secara bersinambung; Kedua, membuat perbedaan dalam perspektif Allah. Perbedaan inilah yang mesti kita gumuli bersama Tuhan sehingga kita dapat mencapai kemenangan abadi. Amin.




        Saya menyambut gembira ketika Ketua STTIK Kupang meminta saya untuk menuliskan artikel yang berhubungan dengan syukuran Diesnatalis STTIK Kupang ke-50. Perjalanan yang sudah menyentuh setengah abad lamanya tentu banyak pembelajaran yang sangat berharga bagi seluruh sivitas akademika STTIK Kupang dan sudah tentu bagi seluruh stakeholdersnya.  Atas nama pribadi dan keluarga serta sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Pengembangan SDM GKII menyampaikan Selamat dan Sukses atas syukuran Diesnatalis ke-50 kepada STTIK Kupang.  Doa kami, kiranya STTIK Kupang semakin berjaya dan semakin dipakai oleh Tuhan untuk menyiapkan para pemimpin intelektual berhati hamba di tengah-tengah kompleksitasnya pelayanan gereja Tuhan di Indonesia; secara khusus di tengah-tengah pelayanan Gereja Kemah Injil Indonesia saat ini.

        Tema yang diusung dalam syukuran Diesnatalis ke-50 ini memuat tentang ajakan untuk bekerja selama masih siang yang dirangkum dari Yohanes 9:1-41 secara khusus ayat 4.  Sesungguhnya ayat ini berhubungan erat dengan pasal sebelumnya dan pasal sesudahnya. Tafsiran Alkitab Wycliffe (Volume 3) menyatakan bahwa “Bagian ini ada hubungannya dengan 8:12 sebab pada saat ini klaim Kristus bahwa diri-Nya adalah terang dunia dibuktikan. Bagian ini juga mempunyai hubungan yang erat dengan pasal berikutnya, sebab 10:21 menunjukkan sekilas kesan yang timbul karena mujizat ini”.[1] Pembuktian atau eksekusi tentang pengejawantahan “bekerja selama masih siang” ditunjukkan oleh Yesus Kristus dalam kasus pemulihan orang yang lahir buta. Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya pertanyaan para murid kepada Yesus Kristus. Pertanyaan urgen yang disampaikan oleh para murid adalah seputar penyebab utama orang yang disebutkan dalam teks itu menjadi buta.   Analisis sementara para murid disebabkan oleh karena dosa sehingga orang tersebut menjadi cacat/buta.  Hal yang menarik dalam dialog itu, justru Tuhan Yesus mengalihkan pikiran mereka pada konsep lain yang seakan-akan Tuhan sedang menyatakan bahwa bukan lagi saatnya mencari sumber persoalan atau sumber masalah; bukan lagi saatnya hanya berbicara, tetapi kini saatnya memadukan unsur berbicara, bekerja, dan berbuat dengan kualitas unggul.  Uraian Tafsiran Alkitab Wycliffe memperjelas bahwa “Yesus mengajak murid-murid-Nya meninggalkan spekulasi sia-sia menuju tindakan.  Saat untuk bekerja (masih siang) terlalu singkat.  Naskah-naskah kuno yang lebih baik berbunyi, “kita harus bekerja”.  Sang Guru sedang menghubungkan para murid dengan diri-Nya sendiri.[2]  Dalam konteks ini, secara sederhana dapat dikatakan bahwa Tuhan Yesus sedang mengajar tentang betapa pentingnya semangat bekerja yaitu bekerja untuk melayani Tuhan – total dan komprehensif – selama masih siang.
        Kata “siang” dalam teks Yunani disebut “μρα = Hemera.” Kata ini memiliki makna yang mendalam dan luas. Kata “hemera” menjelaskan minimal empat hal[3]: Pertama, kata ‘hemera’ berbicara tentang hari biasa (hari alamiah) yaitu waktu antara matahari terbit dan matahari terbenam (12 jam).  Waktu inilah yang kebanyakan digolongkan sebagai kesempatan untuk melakukan tugas atau pekerjaan.  Dalam perspektif masyarakat Yahudi maupun Yunani bahkan perspektif masyarakat pada umumnya, malam adalah waktu untuk kembali ke tenda/rumah untuk beristirahat dari kelelahan bekerja. Pun pada masa itu, bila hari sudah menjadi gelap/malam, tidak memungkinkan lagi dapat bekerja.  Teknologi penerangan/listrik belum ditemukan. Tentu, berbeda dengan zaman sekarang yang sudah sangat canggih yang memungkinkan setiap orang dapat bekerja pada siang hari dan malam hari tanpa diukur oleh terbenamnya matahari.  Tentu, rumusan kerja dengan menggunakan waktu antara matahari terbit dengan matahari terbenam tidak terlalu relevan lagi dengan zaman sekarang yang sudah mengalami kemajuan konsep dan peradaban.  Kedua, kata ‘hemera’ berbicara tentang hari sipil yang memuat waktu dengan durasi 24 jam.   Suatu waktu yang sangat efektif dan fleksibel untuk melakukan tugas.  Kesempatan untuk mengatur jadwal kerja pun sangat dimungkinkan.  Dalam pembagian durasi waktu 24 jam tersebut dapat dibagi lagi dalam tiga bagian aktivitas yaitu 8 jam kerja, 8 jam tidur, 8 jam untuk keluarga/rileks/relaksasi.  Pembagian ideal ini dipraktikkan oleh kebanyakan orang – walaupun ada yang menggunakan hampir seluruh hidupnya untuk bekerja. Namun karakter seperti ini tidak direkomendasikan sebab sangat bertentangan dengan hukum biologis-fisikal manusia.  Bila ini dipraktikkan, akan menempatkan bekerja sebagai candu (workchoholism).  Ketiga, kata ‘hemera’ berbicara tentang eskatologi terutama berkaitan erat dengan Yesus Kristus dan kedatangan-Nya kembali yang bertujuan menyempurnakan/menggenapkan hukum dan kerajaan-Nya. Pada aspek ini, bekerja berkaitan erat dengan pelayanan Injil atau pemuridan. Semangat pekabaran Injil sangat dipentingkan di sini. Keempat, kata ‘hemera’ menyangkut hari kehidupan secara umum (life time) yang tidak dapat diduga kapan berakhirnya. Waktu inilah yang semestinya dimaknai sebagai jembatan untuk menyadarkan diri bahwa hidup berbatasan dengan durasi hidup yang Tuhan tetapkan berdasarkan kedaulatan kehendak-Nya.  Alkitab telah meletakkan batas normal kehidupan. Mazmur 90:10 menyatakan bahwa “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.”  Teks ini mengungkapkan kesadaran pemazmur (Musa) tentang durasi kehidupan yang relatif pendek.  Ia pun menyadari batas rata-rata kehidupan untuk berkarya di dalam dunia ini. Ia juga menyadari fluktuasi kekuatan fisik/kesehatan yang terangkum dalam istilah kuat.  Kesadaran lain yang cukup menonjol adalah adanya kesukaran dan penderitaan yang dinilai sebagai kebanggaan.  Tampaknya, pemazmur sedang membisikkan rahasia untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan bangga walaupun didera dengan kesukaran dan penderitaan. Pemazmur sadar bahwa ada kekuatan dari Sang Pemberi hidup untuk dapat bertahan menjalaninya. Pada klimaksnya, pemazmur menyadari tentang waktu “kepergian” dari dunia ini untuk kembali kepada Pencipta seperti yang diamati oleh Salomo melalui kitab Pengkhotbah.

Bekerja Sebagai Mandat Ilahi dalam Konteks Waktu “Hemera”
Kitab Suci Alkitab Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama) meletakkan dasar yang sangat kuat tentang betapa pentingnya bekerja.  Setelah peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan berfiman kepada Adam dengan berbunyi, “... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu ... dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu sampai engkau kembali lagi menjadi tanah ...”.  Unsur-unsur yang terkait dalam pernyataan kebenaran ini, sebagai berikut: Pertama, bahwa semua manusia harus bekerja. Itu merupakan konsekuensi logis dari kejatuhan manusia ke dalam dosa.  Kedua, bahwa untuk bisa bertahan hidup mesti berusah payah.  Tidak ada yang mendapatkan rezeki bila tidak bersusah payah. Di luar batas ini akan cenderung korup bahkan dapat melanggar aturan hidup dan kehidupan.  Ketiga, bahwa untuk mendapatkan rezeki, mesti berpeluh/berkeringat (Irani: ze’ah).  Berkeringat merupakan indikator utama dalam dimensi kerja walaupun tidak selamanya orang yang berkeringat dapat disamakan dengan bekerja.  Dalam konteks berkeringat dalam pengertian yang sesungguhnya menunjukkan sikap serius yaitu sikap yang sungguh-sungguh bekerja bahkan menanggung konsekuensi logis sampai pada tingkat berkorban dan rela menderita sakit. Kebenaran ini menyentuh hakikat kerja yang tidak terbantahkan oleh teori mana pun. Tindakan absen menerjemahkan kebenaran ini menyebabkan persoalan serius yang berakibat buruk kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.

Jansen H. Sinamo yang dijuluki sebagai “Guru Ethos Indonesia” menyatakan bahwa “Manusia sebagai makhluk pemburu sukses mengejawantahkan tujuan tersebut melalui kerja. Namun, tanpa konsep sukses pun sebenarnya manusia selalu bekerja karena secara hakiki manusia adalah makhluk pekerja”[4].  Apa yang dipikirkan dan dirumuskan oleh Sinamo memperjelas kebenaran Kitab Suci bahwa manusia harus bekerja untuk kelangsungan hidup dan kehidupan di tengah-tengah dunia fana ini.

Dalam teks-teks Kitab Suci Alkitab berulangkali menyentuh aspek dari nilai kerja itu sendiri.  Banyak tokoh Alkitab memperlihatkan kegigihan mereka untuk bekerja sehingga mereka berbahagia. Kisah kehidupan pribadi Yakub misalnya, memperlihatkan keuletan dan kegigihannya bekerja kepada mertuanya, Laban. Disebutkan bahwa ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan, cita-cita, dan masa depannya.
Kitab Amsal Salomo menyadarkan kita tentang filosofi kerja yang mesti jauh dari pengaruh kemalasan bahkan diperintahkan untuk belajar dari ilmu semut. Anjuran agar kita belajar kepada semut memuat nilai tentang apa yang disebut dengan bekerja. Tentu saja, orang normal akan “tersinggung” dengan anjuran belajar dari semut yang notabene adalah makhluk rendah. Namun, faktanya tidak bisa dibantah bahwa sesungguhnya manusia telah banyak lalai.  Filosofi semut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum hidup yang mengedukasi kita agar bekerja ulet, bekerja maksimal, bekerja pintar, bekerja cerdas, berjiwa sosial, berjiwa investatif, berjiwa futuris, dlsb.
        Rasul Paulus dalam beberapa tulisannya, ia menegaskan tentang pentingnya bekerja.  Bagi dia, bekerja adalah kehidupan. Bila tidak bekerja akan mengganggu kehidupan. Karena itu, dengan bahasa sarkastis menyatakan bahwa “bila seseorang tidak mau bekerja, jangan diberi dia makan (II Tesalonika 3:10)”. Perkataan ini masih relevan dengan kondisi kita pada zaman ini. Artinya, harus bekerja guna mendapatkan makanan.  Mendapatkan makanan karena bekerja merupakan jalur halal dan terhormat. Booker T. Washington, mantan budak, tokoh masyarakat Negro menyatakan, “Semua pekerjaan yang dilakukan dengan baik dan tulus adalah pekerjaan yang terhormat”. Diluar dari jalur ini adalah jalur instan, jalur haram, jalur potong kompas yang bermental koruptif. Inilah yang sedang tertuai dan ‘membudaya’ di negara kita yang mesti direvolusi.

Alam Indonesia yang kaya raya adalah anugerah Ilahi. Potensi alam yang melimpah ruah sesungguhnya adalah sumber kebahagiaan.  Kondisi alam inilah menyemangatkan seluruh anak bangsa untuk berani bekerja menaklukkan, mendayagunakan, dan mengelolanya guna meraih kejayaan.  Dengan dasar ini, kita dapat menyatakan bahwa tidak ada lagi tempat bagi orang-orang yang berlindung di balik slogan pengangguran dan kemiskinan. Kitab Suci Alkitab tidak mengenal dan tidak merestui pengangguran. Terminologi pengangguran dan kemiskinan adalah keliru dan cenderung pembodohan. Muatan sesungguhnya adalah karena kemalasan. Karena itu, tidak ada tempat bagi pengangguran dan kemiskinan karena manusia dicipta dengan natur-konstitusional yang memadai – yang memampukannya untuk bekerja keras, berinovasi, dan berpikir kreatif sehingga melahirkan ide-ide spektakuler melalui karya nyata bagi terciptanya kebahagiaan.

Filosofi Bekerja dalam Waktu “Hemera”
Para penemu telah memperlihatkan betapa pentingnya bekerja keras.  Tidak ada temuan spektakuler tanpa kerelaan bekerja.  Tidak ada temuan untuk mengubah wajah peradaban bangsa tanpa kerja keras.  Para ilmuwan kontroversial, seniman besar, dan para pemikir terkemuka sejak zaman renaisans telah melahirkan banyak ide kreatif yang memaslahatkan semua umat manusia di bumi ini.  Pada masa mereka, anggapan orang kebanyakan menduga dan menuduh mereka seperti orang gila bahkan kadang disebut ‘gila.’ Hal ini wajar karena ide mereka adalah ‘gila.’ Hal wajar pula karena memang di luar rasio orang kebanyakan. Tetapi, jangan dipertanyakan apa tujuan mereka.  Jangan dipertanyakan jangkauan penemuan mereka. Tujuan mendasar adalah untuk segenap hidup dan kehidupan umat manusia di seantero jagad raya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang. 

Tokoh-tokoh penemu besar dunia telah membuat kita tercengang.  Thomas A. Edison merupakan salah seorang penemu berkebangsaan Amerika yang paling cerdas dan berpengaruh di sepanjang zaman.  Sekalipun ia hanya bisa dikategorikan sebagai baru mengecap pendidikan 3 tahun saja (yang dapat disejajarkan dengan kelas 3 SD), namun ia dapat mengubah dunia gelap menjadi dunia terang.  Pencapaian Thomas A. Edison tidak ditemukan tanpa pengorbanan; tidak ditemukan tanpa berkeringat.  Ribuan kali percobaan telah ditempuh tanpa lelah.  Ia tidak berhenti sebelum keberhasilan itu menjadi kenyataan. Alhasil, bohlam lampu dan aneka hiburan di rumah kita adalah hasil kerja keras yang merupakan mahakarya Thomas A. Edison. 

Para penemu kelas dunia yang bekerja keras siang dan malam tidak mengenal lelah bahkan terkesan tidak peduli terhadap kehidupan dan jiwa mereka. Marie Curie (1867), seorang ahli kimia, tokoh perempuan -- yang bersama dengan suaminya, Pierre Curie, adalah peneliti perintis dalam bidang radioaktif untuk kemanusiaan.  Menurut catatan sejarah, mereka memenangkan dua Hadiah Nobel yang merupakan kebanggaan, namun tidak memperoleh keuntungan harta kekayaan dari penemuan spektakuler mereka. Tragisnya, pekerjaan yang selama ini ditekuni, justru itulah yang menewaskan mereka.[5] Tokoh lain adalah Bill Gates. Bill Gates telah mengubah cara kita melihat dunia.  Ia menjadi inspirator bagi kita terutama para tokoh komputer di seluruh dunia.  Dalam biografi Bill Gates diceritakan bahwa untuk membuat Hard Drive yang ia geluti selama bertahun-tahun, ia pernah tidak tidur selama seminggu tanpa henti sampai pada akhirnya ia jatuh tertidur memeluk komputernya saat ia telah mencapai tingkat puncak dari penemuannya.  Kisah-kisah kehidupan para tokoh ini berawal dari upaya dan kerja keras. 

Implementasi Bekerja dalam Waktu “Hemera”
Tatkala mengamati dan mencoba membedah pidato perdana Presiden Joko Widodo pascadilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu[6], dengan antusias menekankan dimensi bekerja atau kerja keras. Saking seriusnya, ia berulangkali mengucapkan kata kerja, kerja, dan kerja dalam teks pidato tersebut.  Jargon “kerja” atau “kerja keras” yang disampaikannya tidak sekadar slogan belaka dari sang Presiden tetapi telah menginternalisasi di dalam jiwanya karena telah menjadi gaya hidup dan keluarganya. Ia berharap agar kebiasaan ini tertular kepada orang-orang yang dipimpinnya, tertular kepada para pejabat, tertular kepada para elite, tertular kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

   Bagi sebagian orang, kata “bekerja” atau “bekerja keras” terkesan biasa saja, dangkal, dan membosankan. Namun, mesti dipahami bahwa kandungan nilai dari kata ini sangat luas.  Pada paragraf pertama dari pidato sang Presiden menyentuh hubungan erat antara sumpah dengan komitmen kerja keras. Ia juga menghubungkan antara beban sejarah yang mahaberat pun dapat ditempuh dengan solusi bekerja keras. Yang paling menarik adalah ketika mengajak dan menyerukan kepada seluruh anak bangsa dari berbagai kalangan dan dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, etnis, budaya, dan profesi agar bergerak bersama-sama untuk bekerja.  Singkatnya, ia memberi nilai urgen pada faktor bekerja dengan tulus dan sekeras-kerasnya untuk mencapai masa depan peradaban yang terhormat.

Pada saat pelantikan para menteri, Presiden Joko Widodo juga menggarisbawahi tentang betapa urgennya bekerja.  Tidak mengherankan bila ia menyebut kabinet yang dipimpinnya sebagai kabinet kerja (working cabinets). Ia sadar betul tentang nilai dan space waktu (time bounded) yang tersedia untuk bekerja memimpin – yang begitu singkat.  Dalam konteks waktu inilah, ia menyatakan bahwa lima tahun ke depan menjadi momentum sejarah yang tepat sebagai bangsa yang merdeka; sebagai bangsa yang makmur, adil, dan sejahtera.

Kesimpulan
        Bekerja adalah amanat Allah yang bersifat imperatif bagi semua orang tanpa kecuali.  Karena itu, bagaimana sepatutnya kita bekerja dalam masa “hemera” Tuhan yang begitu singkat ini?  Ada beberapa catatan reflektif, sbb.:

a.    Bekerja Berdasarkan Kasih-Karunia/Talenta
Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru meletakkan fondasi yang sangat kuat bahwa bekerja adalah amanat Allah yang mesti diisi dan disyukuri.  Tidak ada jalan pintas seperti telah diuraikan sebelumnya. Kita mesti bekerja sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing.  Potensi kapasitas dan kapabilitas ini telah disediakan oleh Allah.  Bahkan potensi mengetahui rahasia surgawi dan ilmu pengetahuan lainnya (menjadi penemu) dijamin oleh Tuhan. Tentu, mesti melakukan proses aktivasi (Matius 13; Matius 25; I Korintus 13-14). Inilah yang diyakini dan dilakukan oleh para penemu kelas dunia. Di atas dasar kasih karunia, talenta, dan panggilan inilah sepatutnya kita dapat bekerja dalam ruang dan waktu “hemera” yang disediakan oleh Sang Pencipta.

2.    Bekerja Seperti untuk Tuhan
        Nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Kolose menyatakan bahwa apapun yang diperbuat (dikerjakan) harus dikerjakan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Kebenaran ini menggarisbawahi tentang nilai, kualitas, bobot yang terbaik dari diri sendiri (summum bonum). Jangkauan kebaikan ini tidak berbicara tentang sasaran abstrak saja tetapi juga adalah sasaran terasa yaitu untuk diri sendiri. Dalam konteks ini, saya ingat pemikiran yang pernah dilontarkan oleh salah seorang pakar kepemimpinan Kristen, Dr. Yakob Tomatala/Ketua STT Jaffray Jakarta yang dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa sesungguhnya kita tidak bekerja untuk orang lain; pun -- kita tidak bekerja untuk Tuhan.  Kita tidak bekerja untuk siapa-siapa, akan tetapi kita sedang bekerja untuk diri kita sendiri – yang kiranya Tuhan berkenan atasnya. Tidak mudah mencerna gagasan-filosofis ini. Namun, gagasan ini menggugah paradigma dan kesadaran saya untuk merumuskan kembali tentang apa yang sudah dan sedang saya lakukan.

        Ketika kita bekerja dengan motivasi yang baik dan benar, sesungguhnya kita sedang memberi nilai bagi diri sendiri.  Ketika kita sedang bekerja untuk membesarkan organisasi, sesungguhnya kita sedang membesarkan diri kita sendiri.  Jadi, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa hal bekerja adalah sesungguhnya untuk orang lain atau untuk organisasi.

3.    Bekerja untuk Menghasilkan Berkas
        Hidup semestinya memberi dampak; memberi pengaruh. Bahasa Perjanjian Baru menggunakan istilah buah (Yun. karpos). Kata “karpos” digunakan secara luas baik secara literal yang artinya betul-betul buah dari proses alami yang nantinya akan menjadi bibit maupun secara figuratif yang merujuk pada tindakan yang keluar dari kualitas jiwa seseorang.  Mazmur 126:6 menggarisbawahi tentang berkas (Ibrani: alummah) yang dihasilkan oleh karena kegigihan, keuletan, dan kerja keras. Dengan kegigihan, keuletan, dan kerja keras akan ada warisan hidup yang ditinggalkan kepada generasi berikutnya.  Salah seorang pakar Konseling Kristen, Dr. Julianto Simanjuntak/Dosen STT Jaffray Jakarta berulang kali menyatakan closing statement-nya dalam beberapa seminar konseling sehubungan dengan kesadaran bahwa hidup ini begitu singkat. Closing statement ini berupa pertanyaan, “Apa kira-kira yang ditulis di atas batu nisan saudara ketika sudah waktunya Tuhan memanggil saudara?”  Pertanyaan ini merupakan terjemahan aplikatif-reflektif dari berkas-berkas yang dibahasakan oleh Pemazmur dalam nyanyian ziarahnya.  Melalui gagasan dan uraian yang telah dibentangkan, semestinya waktu “hemera” harus dihargai sehingga menyediakan berkas bagi masa depan generasi berikutnya.  Dengan demikian, hidup dan mati dalam masa kerja “hemera” akan tetap berkualitas.

Kepustakaan

Buku-Buku:
Sinamo, Jansen H.
2005       8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses. Jakarta: Gramedia.
Mannion, James Mannion
2007       Para Pemikir Hebat. Tangerang: Karisma Publishing Group.
Pfeiffer, Charles F., dkk. (Editor)
2008       The Wycliffe Bible Commentary: Tafsiran Alkitab Wycliffe. Malang: Gandum Mas.

Internet:
http://www.bibleworks.com/DLSP_R_v8_rev1.htm.



[1]Charles F. Pfeiffer, dkk. (editor) “The Wycliffe Bible Commentary: Tafsiran Alkitab Wycliffe”. Malang: Gandum Mas, 2008, hlm. 339.
[2]Ibid., hlm. 340.
[3]Dirangkum dan dikembangkan dari uraian Strong’s data for ‘day’ http://www.bibleworks.com/ DLSP_R_v8_rev1.htm.
[4]Jansen H. Sinamo, “8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses”. Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 247.
[5]Bandingkan dengan James Mannion, “Para Pemikir Hebat,” Tangerang: Karisma Publishing Group, 2007, hlm. 215.
[6]https://id.wikipedia.org/wiki/Pelantikan_Presiden_Joko_Widodo.


Umumnya, bulan Desember, umat Kristen di seluruh dunia akan berada dalam suasana sukacita untuk menyambut dan menyukuri Natal Yesus Kristus. Syukuran dan sambutan pun beragam yang keseluruhannya menjelaskan bahwa karya Sang Pencipta dalam rancangan-Nya telah menghadirkan Juruselamat abadi ke dalam dunia yang fana dan sementara ini. Sesungguhnya, Alkitab menyingkapkan bahwa objek kasih Allah tidak hanya kepada manusia tetapi kepada dunia (alam semesta dan segala ciptaan yang mulia).  Inilah yang menjadi alasan ketika penulis Injil Yohanes menyatakan, “hutos gar egapesen, ho Theos ton kosmon ... karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia ... ” (Yohanes 3:16) yang menjelaskan bahwa sasaran kasih Allah adalah dunia yang meliputi manusia dan segala ciptaan-Nya.

Kasih menyapa manusia dengan tulus tanpa ‘embel-embel’ sehingga keselamatan hari ini dan hari esok adalah kepastian.  Penghadiran keselamatan dialamatkan khusus kepada manusia yang malang – yang gundah gulana – yang miskin – yang  terpinggirkan, yang tidak berpengharapan, yang teraniaya, yang dibully, yang difitnah dan yang menyambut-Nya dengan tulus.  Ini merupakan tujuan kekal sekaligus tema sentral dari Natal itu sendiri.

Harus diakui bahwa penyambutan Natal ditanggapi beragam. Mayoritas organisasi gereja dan lembaga kristiani telah berbenah.  Hampir dipastikan bahwa semua anggota jemaat disibukkan dengan pemasangan pernik-pernik Natal dalam rumah tangga.  Tidak ketinggalan acara gotong royong membersihkan rumah dengan tema-tema keceriaan.  Tindakan musiman ini tampak menyolok ketika tulisan Merry Christmas menghiasi tembok atau dinding yang seakan-akan kehadiran Yesus Kristus, ikon Natal – hanya sekali setahun.  Tindakan seperti ini tidaklah sepenuhnya salah, namun saya mengidentifikasi sebagai kebiasaan buruk pertama.

Pada level organisasi gereja dan lembaga kristiani lainnya disibukkan oleh persiapan acara Natal dengan berbagai bentuk dan isi.  Semua berpadu dengan label tidak ‘tanggung-tanggung’ - menyatu menjadi super sibuk.  Kondisi ini pun bisa melahirkan kealpaan dalam persekutuan intim dengan Tuhan.  Persekutuan dan perjumpaan khusus dengan Tuhan pun diabaikan.  Ketika hal ini terabaikan, saya menyebutnya sebagai kebiasaan buruk kedua.

Pemasangan spanduk bertuliskan Natal Gereja, Natal Organisasi, atau Natal Lembaga menggambarkan bahwa makna Natal itu telah direduksi menjadi sejenis Ulang Tahun Gereja, Organisasi, atau Lembaga dan bukan Ulang Tahun Sang Juruselamat yang sepatutnya disambut dengan kualitas isi yang penuh ucapan syukur.  Kondisi seperti ini, saya menyebut sebagai kebiasaan buruk ketiga.

Hal lain yang tidak kalah menarik adalah ketika para pelaksana acara Natal yang biasanya disebut Panitia Natal, baik sebelum maupun sesudah acara berlangsung akan menampilkan kepribadian asli yang diekspresikan melalui sikap bersungut-sungut – sekalipun tidak diasumsikan atau digeneralisasi – tetapi indikator di lapangan sangat menunjang.  Adanya pribadi-pribadi tertentu yang ingin menarik perhatian dan simpati – yang sarat dengan berbagai macam sikap menuduh, merendahkan, menggosipkan, memarahi, melecehkan, melemahkan antara satu dengan lainnya karena urusan adil-tidak adil; kerja-tidak kerja; bagi-tidak bagi -- dan sejumlah alasan-argumentatif lainnya.  Bila ini yang terjadi di dalam kelompok kepanitiaan, dapat diprediksi akan melahirkan emosi, kebencian, perselisihan yang berlanjut pada diskoneksi, disfungsi, disrelasi, disharmonisasi, dan sejumlah potensi keretakan lain yang mengikutinya.  Inilah yang merupakan kebiasaan buruk level empat. Kalau ini digambarkan sebagai penyakit tumor ganas, maka sudah masuk pada level stadium empat yang tinggal menunggu kematian.  Berdasarkan fenomena dan paparan ini, setiap orang yang menamakan diri sebagai orang Kristen perlu menyambut kelahiran Yesus Kristus (Natal) secara benar dan selayaknya harus berbeda.  Bagaimanakah  realisasinya?  Bagaimana menyikapinya?

Natal Merupakan Perwujudan Kasih
Kelahiran Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan rancangan Allah yang kekal untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa yang secara substantif-teologis tidak dapat menyelamatkan diri sendiri.  Penyelamatan ini harus dibayar dengan kasih yang tertinggi yaitu hidup dan kehidupan secara total.  Tuntutan penyelamatan itu sangat dahsyat yaitu nyawa yang sempurna dan terbaik (summum bonum).  Tuhan Yesus menyatakan bahwa “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13).  Dalam konteks inilah, Natal harus dimaknai sebagai ungkapan isi hati Allah demi membahagiakan manusia di dalam Yesus Kristus.  Karena itu, selayaknya kita yang telah “dibahagiakan” oleh Allah memanggil kita untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang berbelas kasih kepada semua manusia (Maz. 145:9a).  Bila TUHAN itu baik kepada semua manusia, tidak ada alasan untuk tidak berbuat baik kepada sesama dalam segala kelebihan dan kekurangan.

Natal Merupakan Momen Instrospektif-Reflektif
Natal tidak hanya berbasiskan seremonial dan selebrasi belaka tetapi peluang untuk melakukan self-introspection untuk memaknai arti Natal itu dalam relasinya dengan segala sisi kehidupan.  Banyak yang menyalah-artikan dengan hanya (merely) muatan sakralistik tanpa pemaknaan.  Artinya, kesakralan yang dangkal dalam kehampaan.  Hal ini dilatarbelakangi oleh dominansi teori sementara praktiknya terlalu minim.  Padahal, Natal adalah kesempatan untuk mengobarkan: semangat juang, semangat melayani, semangat bermisi, semangat berbagi, semangat berkreasi, dan semangat berinovasi untuk pencapaian perubahan bagi kemaslahatan bersama di tengah-tengah komunitas gereja Tuhan dan masyarakat.  Jadi, Natal hadir untuk semua.

Natal Merupakan Jembatan Pemersatu
Suasana dan kondisi dunia telah bergeser.  Pergeseran ini telah mempengaruhi sikap, tindakan, dan perilaku.  Sikap egoistik-individualistik pun berkembang biak.  Persatuan dan kesatuan mengalami nasib ‘merana’ seakan-akan tidak berdaya. Tinggal menjadi slogan tanpa makna.  Singkatnya mengalami abrasi.  Orang Kristen yang nota bene tahu kebenaran berbasiskan rohani justru ‘mengaborsi’ kebenaran itu sendiri; sementara yang dianggap jauh dari dimensi rohani (sekuler) sedang mengadopsi kebenaran.  Tampaknya ‘dunia’ sedang terbalik. Serba sungsang. Di tengah suasana dan kesuraman seperti ini, Natal hadir memberi rekomendasi agar membongkar dan meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang menciptakan relasi antara “aku” dan “engkau” menjadi relasi “kita” dalam tatanan baru yang lebih dinamis dan progresif dengan nilai-nilai kebenaran yang membumi dan yang memberkati dunia.

Natal Merupakan Tanda Perubahan
      Kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia, tentu saja bukan untuk membuat kenyamanan bagi umat Allah (umat pilihan-Nya) tetapi justru membuat kegelisahan bagi orang-orang yang mempertahankan status quo, orang-orang yang mempertahankan kebiasaan buruk bahkan cenderung membudaya.  Kegelisahan ini pun menjadi bagian orang-orang yang menyebut diri sebagai imam, kaum lewi, ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi yang berpengetahuan dan berpendidikan, dsb. Menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut diri sebagai orang beriman; orang yang melafalkan dengan menyebut diri sebagai hamba tetapi bukan hamba dalam arti yang sesungguhnya.  Mereka jauh dari karakter hamba. Mereka gelisah karena terbongkarnya zona nyaman. Gelisah karena terbongkarnya ruang-ruang kemunafikan.  Karena itulah, Yesus Kristus hadir untuk membongkar habis kebiasaan kegelapan ini untuk menemukan diri berubah di dalam Dia. Inilah yang dinamakan perubahan. Karena itu, ketika mensyukuri Natal, sebaiknya sungguh-sungguh menggumuli perubahan seperti yang dikehendaki oleh Putra Natal itu sendiri yang menjadi penanda bahwa kita adalah berbeda.  Berbeda karena kita menjiwai kehadiran-Nya; berbeda karena mendarahdagingkan kebenaran; dan berbeda karena kita mengalami dan menghidupi karakter Kristus.

Konklusi
Tampil beda menyambut Natal harus dibangun atas pilar bahwa natal itu berbicara tentang kasih; berisi tentang kesempatan untuk melakukan re-introspeksi secara jujur dan berani; kesempatan untuk membangun relasi demi terciptanya kesatuan dan persatuan; serta sebagai penanda perubahan yang  mengakar kuat di dalam hidup kita.  Selamat mensyukuri Natal Yesus Kristus.