MENYAMBUT NATAL DENGAN CARA PANDANG YANG BERBEDA

, , No Comments


Umumnya, bulan Desember, umat Kristen di seluruh dunia akan berada dalam suasana sukacita untuk menyambut dan menyukuri Natal Yesus Kristus. Syukuran dan sambutan pun beragam yang keseluruhannya menjelaskan bahwa karya Sang Pencipta dalam rancangan-Nya telah menghadirkan Juruselamat abadi ke dalam dunia yang fana dan sementara ini. Sesungguhnya, Alkitab menyingkapkan bahwa objek kasih Allah tidak hanya kepada manusia tetapi kepada dunia (alam semesta dan segala ciptaan yang mulia).  Inilah yang menjadi alasan ketika penulis Injil Yohanes menyatakan, “hutos gar egapesen, ho Theos ton kosmon ... karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia ... ” (Yohanes 3:16) yang menjelaskan bahwa sasaran kasih Allah adalah dunia yang meliputi manusia dan segala ciptaan-Nya.

Kasih menyapa manusia dengan tulus tanpa ‘embel-embel’ sehingga keselamatan hari ini dan hari esok adalah kepastian.  Penghadiran keselamatan dialamatkan khusus kepada manusia yang malang – yang gundah gulana – yang miskin – yang  terpinggirkan, yang tidak berpengharapan, yang teraniaya, yang dibully, yang difitnah dan yang menyambut-Nya dengan tulus.  Ini merupakan tujuan kekal sekaligus tema sentral dari Natal itu sendiri.

Harus diakui bahwa penyambutan Natal ditanggapi beragam. Mayoritas organisasi gereja dan lembaga kristiani telah berbenah.  Hampir dipastikan bahwa semua anggota jemaat disibukkan dengan pemasangan pernik-pernik Natal dalam rumah tangga.  Tidak ketinggalan acara gotong royong membersihkan rumah dengan tema-tema keceriaan.  Tindakan musiman ini tampak menyolok ketika tulisan Merry Christmas menghiasi tembok atau dinding yang seakan-akan kehadiran Yesus Kristus, ikon Natal – hanya sekali setahun.  Tindakan seperti ini tidaklah sepenuhnya salah, namun saya mengidentifikasi sebagai kebiasaan buruk pertama.

Pada level organisasi gereja dan lembaga kristiani lainnya disibukkan oleh persiapan acara Natal dengan berbagai bentuk dan isi.  Semua berpadu dengan label tidak ‘tanggung-tanggung’ - menyatu menjadi super sibuk.  Kondisi ini pun bisa melahirkan kealpaan dalam persekutuan intim dengan Tuhan.  Persekutuan dan perjumpaan khusus dengan Tuhan pun diabaikan.  Ketika hal ini terabaikan, saya menyebutnya sebagai kebiasaan buruk kedua.

Pemasangan spanduk bertuliskan Natal Gereja, Natal Organisasi, atau Natal Lembaga menggambarkan bahwa makna Natal itu telah direduksi menjadi sejenis Ulang Tahun Gereja, Organisasi, atau Lembaga dan bukan Ulang Tahun Sang Juruselamat yang sepatutnya disambut dengan kualitas isi yang penuh ucapan syukur.  Kondisi seperti ini, saya menyebut sebagai kebiasaan buruk ketiga.

Hal lain yang tidak kalah menarik adalah ketika para pelaksana acara Natal yang biasanya disebut Panitia Natal, baik sebelum maupun sesudah acara berlangsung akan menampilkan kepribadian asli yang diekspresikan melalui sikap bersungut-sungut – sekalipun tidak diasumsikan atau digeneralisasi – tetapi indikator di lapangan sangat menunjang.  Adanya pribadi-pribadi tertentu yang ingin menarik perhatian dan simpati – yang sarat dengan berbagai macam sikap menuduh, merendahkan, menggosipkan, memarahi, melecehkan, melemahkan antara satu dengan lainnya karena urusan adil-tidak adil; kerja-tidak kerja; bagi-tidak bagi -- dan sejumlah alasan-argumentatif lainnya.  Bila ini yang terjadi di dalam kelompok kepanitiaan, dapat diprediksi akan melahirkan emosi, kebencian, perselisihan yang berlanjut pada diskoneksi, disfungsi, disrelasi, disharmonisasi, dan sejumlah potensi keretakan lain yang mengikutinya.  Inilah yang merupakan kebiasaan buruk level empat. Kalau ini digambarkan sebagai penyakit tumor ganas, maka sudah masuk pada level stadium empat yang tinggal menunggu kematian.  Berdasarkan fenomena dan paparan ini, setiap orang yang menamakan diri sebagai orang Kristen perlu menyambut kelahiran Yesus Kristus (Natal) secara benar dan selayaknya harus berbeda.  Bagaimanakah  realisasinya?  Bagaimana menyikapinya?

Natal Merupakan Perwujudan Kasih
Kelahiran Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan rancangan Allah yang kekal untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa yang secara substantif-teologis tidak dapat menyelamatkan diri sendiri.  Penyelamatan ini harus dibayar dengan kasih yang tertinggi yaitu hidup dan kehidupan secara total.  Tuntutan penyelamatan itu sangat dahsyat yaitu nyawa yang sempurna dan terbaik (summum bonum).  Tuhan Yesus menyatakan bahwa “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13).  Dalam konteks inilah, Natal harus dimaknai sebagai ungkapan isi hati Allah demi membahagiakan manusia di dalam Yesus Kristus.  Karena itu, selayaknya kita yang telah “dibahagiakan” oleh Allah memanggil kita untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang berbelas kasih kepada semua manusia (Maz. 145:9a).  Bila TUHAN itu baik kepada semua manusia, tidak ada alasan untuk tidak berbuat baik kepada sesama dalam segala kelebihan dan kekurangan.

Natal Merupakan Momen Instrospektif-Reflektif
Natal tidak hanya berbasiskan seremonial dan selebrasi belaka tetapi peluang untuk melakukan self-introspection untuk memaknai arti Natal itu dalam relasinya dengan segala sisi kehidupan.  Banyak yang menyalah-artikan dengan hanya (merely) muatan sakralistik tanpa pemaknaan.  Artinya, kesakralan yang dangkal dalam kehampaan.  Hal ini dilatarbelakangi oleh dominansi teori sementara praktiknya terlalu minim.  Padahal, Natal adalah kesempatan untuk mengobarkan: semangat juang, semangat melayani, semangat bermisi, semangat berbagi, semangat berkreasi, dan semangat berinovasi untuk pencapaian perubahan bagi kemaslahatan bersama di tengah-tengah komunitas gereja Tuhan dan masyarakat.  Jadi, Natal hadir untuk semua.

Natal Merupakan Jembatan Pemersatu
Suasana dan kondisi dunia telah bergeser.  Pergeseran ini telah mempengaruhi sikap, tindakan, dan perilaku.  Sikap egoistik-individualistik pun berkembang biak.  Persatuan dan kesatuan mengalami nasib ‘merana’ seakan-akan tidak berdaya. Tinggal menjadi slogan tanpa makna.  Singkatnya mengalami abrasi.  Orang Kristen yang nota bene tahu kebenaran berbasiskan rohani justru ‘mengaborsi’ kebenaran itu sendiri; sementara yang dianggap jauh dari dimensi rohani (sekuler) sedang mengadopsi kebenaran.  Tampaknya ‘dunia’ sedang terbalik. Serba sungsang. Di tengah suasana dan kesuraman seperti ini, Natal hadir memberi rekomendasi agar membongkar dan meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang menciptakan relasi antara “aku” dan “engkau” menjadi relasi “kita” dalam tatanan baru yang lebih dinamis dan progresif dengan nilai-nilai kebenaran yang membumi dan yang memberkati dunia.

Natal Merupakan Tanda Perubahan
      Kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia, tentu saja bukan untuk membuat kenyamanan bagi umat Allah (umat pilihan-Nya) tetapi justru membuat kegelisahan bagi orang-orang yang mempertahankan status quo, orang-orang yang mempertahankan kebiasaan buruk bahkan cenderung membudaya.  Kegelisahan ini pun menjadi bagian orang-orang yang menyebut diri sebagai imam, kaum lewi, ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi yang berpengetahuan dan berpendidikan, dsb. Menjadi bagian dari orang-orang yang menyebut diri sebagai orang beriman; orang yang melafalkan dengan menyebut diri sebagai hamba tetapi bukan hamba dalam arti yang sesungguhnya.  Mereka jauh dari karakter hamba. Mereka gelisah karena terbongkarnya zona nyaman. Gelisah karena terbongkarnya ruang-ruang kemunafikan.  Karena itulah, Yesus Kristus hadir untuk membongkar habis kebiasaan kegelapan ini untuk menemukan diri berubah di dalam Dia. Inilah yang dinamakan perubahan. Karena itu, ketika mensyukuri Natal, sebaiknya sungguh-sungguh menggumuli perubahan seperti yang dikehendaki oleh Putra Natal itu sendiri yang menjadi penanda bahwa kita adalah berbeda.  Berbeda karena kita menjiwai kehadiran-Nya; berbeda karena mendarahdagingkan kebenaran; dan berbeda karena kita mengalami dan menghidupi karakter Kristus.

Konklusi
Tampil beda menyambut Natal harus dibangun atas pilar bahwa natal itu berbicara tentang kasih; berisi tentang kesempatan untuk melakukan re-introspeksi secara jujur dan berani; kesempatan untuk membangun relasi demi terciptanya kesatuan dan persatuan; serta sebagai penanda perubahan yang  mengakar kuat di dalam hidup kita.  Selamat mensyukuri Natal Yesus Kristus. 

0 komentar:

Posting Komentar