MENDAMAIKAN DIKOTOMI SAKRAL DAN SEKULAR/PROFAN

, , No Comments

MENDAMAIKAN DIKOTOMI SAKRAL DAN SEKULAR/PROFAN
oleh Nasokhili Giawa


      Pemilahan terhadap kedua sisi yang berseberangan ini telah menyedot banyak energi di sepanjang sejarah.  Sakral selalu ditempatkan sebagai yang lebih unggul di antara keduanya.  Tidak heran, bila ada yang rela menderita lahir-batin dengan sengaja karena filosofi eksklusif tersebut.  Sebaliknya, dalam perspektif sekular ekstrim menempatkan alasan praktis bahwa dunia ini diciptakan oleh sang Pencipta yang sama, yaitu Allah – yang di dalamnya manusia menikmati kebahagiaan.

      Penajaman ini semakin merembet ke dunia ilmu pengetahuan dan teologi (ilmu ketuhanan atau ilmu tentang Allah).  Bahkan, dalam sebuah cerita ilustratif, ada pribadi-pribadi yang memisahkan literatur “sakral” atau “hikmat rohani” dengan pengetahuan sekular/profan secara tajam.  Disinyalir – ada semacam penyakit psikosomatis yaitu penyakit yang disebabkan oleh ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui atau belum tentu terjadi.  Bagaimanakah mendamaikan kedua sisi ekstrim ini?

Kata sakral sering dipakai dalam konteks agama yang bersifat vertikal.  Istilah ini menunjuk pada apa yang benar dan kudus dalam pengertian bahwa itu diperuntukkan untuk Allah.  Dalam arti ini segala sesuatu di dalam dunia harus diperlakukan kudus dan tidak mungkin ada yang tersembunyi dari Allah.  Kata yang sejajar dengan sakral adalah rohani yang menambahkan tekanan pada aspek-aspek batiniah yaitu iman dan kesalehan.

Kata sekular dipakai sebagai lawan dari sakral, rohani, atau religius yaitu yang mengacu pada soal-soal duniawi di dunia ini.  Keyakinan reformasi mengajarkan  bahwa semua orang percaya menuntut iman dan kesalehan yang sama pada semua orang entah apa pun kerjanya.  Pada tahap terminologi, memberi kesan bahwa tidak ada alasan yang memadai untuk mengisolasikan yang sakral dan merendahkan yang sekuler.

Fakta Historis tentang Sakral dan Sekuler

      Sejak awal penciptaan, Allah tidak mempercakapkan kedua “barang” ini secara terpisah.  Keduanya adalah satu paket.  Allah menciptakan dunia dan segala keperluan manusia lainnya sesudah itu diciptakanlah manusia sebagai puncak dari seluruh ciptaan dan ditempatkannya sebagai raja’ di atas bumi.  Beberapa ribu/juta/miliaran tahun kemudian, terutama pada abad pertengahan masehi, mulai membuat pemilahan yang sangat tajam dan memposisikan diri masing-masing sebagai “musuh dalam selimut”.  Alasan historis yang muncul sebenarnya dalam dunia kekristenan adalah ketidak-setujuan terhadap partisipasi orang Kristen terhadap urusan-urusan pemerintahan dan militer dan menentang banyak praktik sosial yang sudah banyak bengkok daripada lurusnya.  Sebagian orang berpendapat bahwa gereja sudah kehilangan kemurniannya sewaktu bersatu padu dengan kekaisaran Roma.  Karena itu, semua elemen gereja bergerak dalam kebingungan dan menetapkan strategi yang diharapkan dapat menjawab persoalan inti.  Gerakan biarawan menarik diri dari masyarakat merupakan salah satu efek samping dari persoalan dikotomis antara sakral dan sekular tersebut.

      Pemisahan total sulit dicapai.  Gereja bukanlah berasal dari dunia tetapi ia masih di dalam dunia.  Tentu, hal ini tidak bisa dielakkan pemakaian bahasa dan struktur pikiran menurut kultur.  Pertanyaan untuk digumuli secara intelek adalah, haruskah kita menarik diri sebanyak dan sebisa mungkin supaya memelihara kemurnian, kekhususan kekristenan dari keduniawian, atau haruskah kita berusaha menembus yang sekular dalam koridor kekristenan yang murni?

Berani Mengubah Cara Pandang

      Mazhab Sinik dari Yunani Kuno, yang kecewa atas lembaga-lembaga politik dan domestik, berusaha kembali ke alam dengan mempraktikkan hidup sederhana yang tidak tergantung pada sarana dan struktur yang dianggap perlu oleh masyarakat.  Kelompok Hippies dan gerakan-gerakan kontrakultur lainnya mengambil sikap serupa.  Segolongan dari Jesus Movement mengambil bagian dalam sinisme mereka terhadap kemapanan dan nilai serta gaya hidup sederhana mereka.  Yang lebih menarik lagi ialah kelompok Amish dari Pennyilvania dan Indiana yang menolak menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan abad ke-20.  Penarikan diri mereka sifatnya pragmatis, yakni untuk memelihara identitas grup dan untuk berhati-hati terhadap perasaan puas diri atas kemewahan dan pengetahuan yang tidak perlu.


Sakral dan sekular memiliki hubungan integral yang tidak dapat diabaikan.  Jika distingsi sakral-sekuler hilang dan kita mengakui bahwa semua kebenaran pada akhirnya kebenaran Allah, maka pekerjaan intelektual sesungguhnya merupakan pekerjaan Allah yang bernilai sama dengan pemberitaan Injil, pemberian makan kepada yang lapar, membela kaum marginal, menyembuhkan, dsb.  Hal ini pun adalah tugas sakral.  Jika pekerjaan intelektual bisa merupakan pekerjaan Allah dan jika semua kebenaran milik Allah, maka tidak ada alasan untuk mencela bidang pengetahuan tertentu sebagai duniawi atau tidak tertolong duniawi.  Karena itu, pengetahuan seperti itu perlu dikembalikan pada keutuhan kebenaran Allah yang darinya pengetahuan itu diperoleh sehingga dapat mendamaikan dikotomi sakral dan sekuler yang telah tereduksi karena kedangkalan pemahaman selama ini.

0 komentar:

Posting Komentar