MENJINAKKAN EMOSI DEMI KEDAMAIAN DAN KEBAHAGIAAN
oleh Nasokhili Giawa
Salah seorang pejabat publik yang menyedot
banyak energi karena gaya kepemimpinannya yang terkesan sarkastis dan kontroversial
sekarang ini adalah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Statemen dan sifat khas yang blak-blakan dan
meledak-ledak cenderung mengundang debat banyak pihak. Komunikasi yang
terganggu antara dirinya dengan DPRD DKI Jakarta pun menjadi sorotan publik di
antero nusantara bahkan mungkin di seluruh penjuru dunia. Gaya kepemimpinan temperamental
seperti yang dipraktikkannya memang dinilai banyak kalangan sebagai bumerang
dalam proses kepemimpinannya. Tidak
jarang, dia dicap sebagai pejabat pemberani yang ‘gila’. Apakah gaya
kepemimpinan dan temperamen ini sepenuhnya salah? Jangan terlalu terburu-buru
mengambil kesimpulan.
Emosi Sebagai Terapi
Koleksi
kata emosional yang saya telusuri dari banyak pertemuannya dan wawancara
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan media cetak dan elektronik, antara lain
ada kata: saya sikat habis, saya pecat, brengsek, goblok, bego, bajingan, biadab,
nenek loe, dll. Sesungguhnya, harus
diakui bahwa koleksi kata-kata ini merupakan kamus amarah dan tidak lazim
dipakai oleh pemimpin/pejabat publik dalam berkomunikaksi karena tidak etis dan
tidak mendidik. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa kata-kata ini
merupakan terapi khusus yang tidak hanya untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap
kejahatan/ketidakbenaran, akan tetapi juga terapi khusus untuk diri sendiri.
Terlepas dari
penilaian pro-kontra – positif versus
negatif – baik atau tidak baik – sesungguhnya kejujuran hati nurani tercermin
dari kinerja, kerja keras, semangat, kualitas, dan visi besar Gubernur Ahok bagi
Jakarta dan bagi Indonesia Raya.
Sekarang, analogi yang digunakannya adalah gaya koboi. Pistol telah
diangkat, dan siap melakukan pengintaian dan penembakan terhadap kejahatan.
Dari banyak
kesaksian, motif utama Gubernur Ahok adalah untuk sebuah perubahan wajah dan
mentalitas rakyat Indonesia yang mesti dimulai dari Ibukota Negara, Jakarta
sebagai role model bagi daerah-daerah
lain. Ia memberi dukungan penuh terhadap
penegakkan prinsip clean and good
governance dengan melawan segala bentuk penyelewengan. Visi besar untuk
perubahan memang tidak semudah membalikkan telapan tangan. Tentu saja, momok korupsi yang telah
‘menjemaah’ – yang sudah menjadi musuh bersama bagi orang waras -- tidak
mungkin dituntaskan dalam durasi waktu yang sangat terbatas. Tetapi, minimal,
ia telah memulai sebuah perubahan. Sebagai
bukti serius atas visi ini, dia telah rela memasang badan untuk urusan korupsi,
urusan mafia-mafia proyek, urusan preman-preman berdasi, urusan karakter dan
mental pejabat yang selama ini bersembunyi rapi di balik zona nyaman selama ini. Untuk sikap ini, ia menyatakan siap mengambil
risiko sekalipun nyawa dan keluarga menjadi taruhan. Pun, kalau mati, dinyatakannya
sebagai keuntungan.
Emosi Berwujud Amarah
Menurut Sue Burnham, emosi adalah
tanggapan batiniah yang kita rasakan atas peristiwa-peristiwa kehidupan yang
terjadi. Seperti keluarga, emosi adalah
bagian dari diri kita dan tidak dapat dicampakkan dari kehidupan kita. Sama halnya, emosi tidak dapat diingkari atau
diabaikan (1990:7). Emosi adalah bagian dari natur konstitusional manusia untuk
memberi tanggapan terhadap lingkungannya bahkan diri sendiri. Emosi dapat
bersifat konstruktif dan juga dapat destruktif.
Tergantung kondisi dan situasi.
Bila pendulum emosi kita lebih ke arah pertentangan, maka emosi telah
menjadi amarah. Burham mengiventarisasi amarah atau kemarahan disebut sebagai
“naik pitam, jengkel, sikap bermusuhan, kesal, atau sengit” (hlm. 92). Kemarahan adalah tanggapan fisik dan
emosional kita terhadap pengalaman atau situasi. Umumnya, orang marah berpengaruh pada tubuh
secara keseluruhan. Reaksi fisiologis
pun muncul beragam. Tubuh mengubah emosi
menjadi energi. Bila amarah mencapai
puncaknya, seluruh tubuh dipompa, dipersiapkan untuk bertindak. Karena itu, kalau ada yang marah dengan
memukul meja, membanting kursi dan benda-benda lain di sekitarnya, mengeluarkan
kata-kata kasar, memaki, berkelahi, dsb. berarti emosi telah berubah menjadi energi.
Ini adalah praktik-praktik amarah yang kita saksikan selama ini sebagai
perwujudan emosi destruktif.
Perlu Pengudusan Emosi/Amarah
Pada umumnya kemarahan selalu
diidentikkan sebagai negatif. Padahal, kemarahan
juga dapat bertujuan positif. Tergantung tujuannya. Sebagaimana kita ketahui
bahwa penanda dan karakter profetis adalah amarah terhadap dosa, amarah
terhadap kejahatan, amarah terhadap ketidak-adilan, amarah terhadap
ketidakbenaran, amarah terhadap penyelewengan, dan amarah terhadap hal-hal yang
merugikan kepentingan masyarakat banyak.
Dalam Kitab Suci Alkitab, kita menemukan para nabi dan para rasul yang
temperamental. Yesus Kristus sendiri
pernah menggunakan energi amarah-Nya untuk menanggapi kejahatan yang
disaksikan-Nya sendiri. Amarah-Nya
meluap ketika Ia mengusir orang-orang yang berjual-beli di halaman Bait
Allah. Meja-meja penukar uang dan
bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak memperbolehkan
orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah (Markus
11:15-16). Namun, kita saksikan bahwa Ia
tidak melakukan hal itu tanpa alasan yang rasional dan teologis. Inilah yang juga dikatakan oleh Gubernur Ahok
bahwa silakan mengkritik, silakan mengoreksi, akan tetapi harus yang logis (masuk
akal).
Salah satu buku terbaru Dr. Stephen Tong
(teolog, filsuf, penginjil terkemuka zaman ini)
adalah “Pengudusan Emosi”. Ia
mengutip pemazmur untuk menjelaskan maksudnya.
Pemazmur menyatakan, “Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi
syukur bagi-Mu, dan sisa panas hati itu akan Kau perikatpinggangkan” (Maz.
76:11). Kebenaran ini diperjelas dengan
menyatakan, “Kemarahan manusia akan menyempurnakan kemuliaan Allah; tetapi
kelebihan kemarahan akan dihentikan oleh Allah” (2007:73). Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa jika
emosi tidak diberikan jalur atau memiliki rel yang merupakan koridor geraknya,
orang itu akan bisa menyeleweng dan bisa masuk ke dalam tindakan yang
berlebihan, bisa merusak harmoni masyarakat, bisa melakukan hal-hal yang
merugikan, bahkan dia sendiri bisa gila” (hlm. 74). Karena itu, emosi harus mempunyai prinsip,
mempunyai rel, mempunyai standar, dan hanya pimpinan Tuhanlah yang membatasinya. Terlepas dari bingkai ini, akan melahirkan
masalah yang berdampak luas. Karena itu, emosi dan amarah yang suci dan
konstruktif harus dibangun atas kemarahan Ilahi. Kemarahan Ilahi adalah
kemarahan yang memiliki landasan yang kuat dan yang bertujuan mulia. Kemarahan Ilahi adalah kemarahan yang membawa
perubahan besar dan luas yang kadang tidak dapat dipahami oleh orang kebanyakan.
Karena itu, perlu kecerdasan emosi (emotional
quotient) untuk menyelaraskannya baik dalam koridor vertikal maupun horizontal.
Selamat menjinakkan emosi demi terciptanya kedamaian dan kebahagiaan.
0 komentar:
Posting Komentar