MANUSIA DICIPTA SEBAGAI MAKHLUK PEKERJA

, , No Comments
MANUSIA DICIPTA SEBAGAI MAKHLUK PEKERJA
oleh Nasokhili Giawa[1]

Tatkala mengamati dan mencoba membedah pidato perdana Presiden Joko Widodo pascadilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu, ia sangat menekankan dimensi kerja atau kerja keras. Saking seriusnya, ia berulangkali mengucapkan kata kerja, kerja, dan kerja dalam teks pidato tersebut.  Jargon “kerja” atau “kerja keras” yang disampaikannya tidak sekadar slogan belaka dari sang Presiden tetapi telah menginternalisasi di dalam jiwanya karena dilakonkan secara konsisten. Ia berharap agar kebiasaan ini tertular kepada orang-orang yang dipimpinnya, tertular kepada para pejabat, tertular kepada para elite, tertular kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
        Bagi sebagian orang, kata “bekerja” atau “bekerja keras” terkesan biasa saja, dangkal, dan membosankan. Namun, mesti dipahami bahwa kandungan nilai dari kata ini sangat luas.  Pada paragraf pertama dari pidato sang Presiden menyentuh hubungan erat antara sumpah dengan komitmen kerja keras. Ia juga menghubungkan antara beban sejarah yang mahaberat pun dapat ditempuh dengan solusi bekerja keras. Yang paling menarik adalah ketika mengajak dan menyerukan kepada seluruh anak bangsa dari berbagai kalangan dan dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, etnis, budaya, dan profesi agar bergerak bersama-sama untuk bekerja.  Singkatnya, ia memberi nilai urgen pada faktor bekerja dengan tulus dan sekeras-kerasnya untuk mencapai masa depan peradaban yang terhormat.
Pada saat pelantikan para menteri, Presiden Joko Widodo juga menggarisbawahi tentang betapa urgennya bekerja.  Tidak mengherankan bila ia menyebut kabinet yang dipimpinnya sebagai kabinet kerja (working cabinets). Ia sadar betul tentang nilai dan space waktu (time bounded) yang tersedia untuk bekerja memimpin – yang begitu singkat.  Dalam konteks waktu inilah, ia menyatakan bahwa lima tahun ke depan menjadi momentum sejarah yang tepat sebagai bangsa yang merdeka; sebagai bangsa yang makmur, adil, dan sejahtera.

Bekerja Sebagai Mandat Ilahi
Kitab Suci Alkitab meletakkan dasar yang sangat kuat tentang betapa pentingnya kerja.  Setelah peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan berfiman kepada Adam dengan berbunyi, “... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu ... dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu sampai engkau kembali lagi menjadi tanah ...”.  Unsur-unsur yang terkait dalam pernyataan kebenaran ini, sebagai berikut: Pertama, bahwa semua manusia harus bekerja. Itu merupakan konsekuensi logis dari kejatuhan manusia ke dalam dosa.  Kedua, bahwa untuk bisa bertahan hidup mesti berusah payah.  Tidak ada yang mendapatkan rezeki bila tidak bersusah payah. Di luar batas ini akan cenderung korup bahkan dapat melanggar aturan hidup dan kehidupan.  Ketiga, bahwa untuk mendapatkan rezeki, mesti berpeluh (berkeringat).  Berkeringat merupakan indikator utama dalam dimensi kerja walaupun tidak selamanya orang yang berkeringat dapat disamakan dengan bekerja.  Dalam konteks berkeringat dalam pengertian yang sesungguhnya menunjukkan sikap serius yaitu sikap yang sungguh-sungguh bekerja bahkan menanggung konsekuensi logis sampai pada tingkat berkorban dan rela menderita sakit. Kebenaran ini menyentuh hakikat kerja yang tidak terbantahkan oleh teori mana pun. Tindakan absen menerjemahkan kebenaran ini menyebabkan persoalan serius yang berakibat buruk kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Jansen H. Sinamo yang dijuluki sebagai “Guru Ethos Indonesia” dalam bukunya “8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses” menyatakan bahwa “Manusia sebagai makhluk pemburu sukses mengejawantahkan tujuan tersebut melalui kerja. Namun, tanpa konsep sukses pun sebenarnya manusia selalu bekerja karena secara hakiki manusia adalah makhluk pekerja” (2005:247).  Apa yang dipikirkan dan dirumuskan oleh Sinamo memperjelas kebenaran Kitab Suci bahwa manusia harus bekerja untuk kelangsungan hidup dan kehidupan.

Filosofi Kerja dan Peradaban
Para penemu telah memperlihatkan betapa pentingnya bekerja keras.  Tidak ada temuan spektakuler tanpa kerelaan bekerja.  Tidak ada temuan untuk mengubah wajah peradaban bangsa tanpa kerja keras.  Para ilmuwan kontroversial, seniman besar, dan para pemikir terkemuka sejak zaman renaisans telah melahirkan banyak ide kreatif yang memaslahatkan semua umat manusia di bumi ini.  Pada masa mereka, anggapan orang kebanyakan menduga dan menuduh mereka seperti orang gila bahkan kadang disebut ‘gila.’ Hal ini wajar karena ide mereka adalah ‘gila.’ Hal wajar pula karena memang di luar rasio orang kebanyakan. Tetapi, jangan dipertanyakan apa tujuan mereka.  Jangan dipertanyakan jangkauan penemuan mereka. Tujuan mendasar adalah untuk segenap hidup dan kehidupan umat manusia di seantero jagad raya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang. 
Tokoh-tokoh penemu besar dunia telah membuat kita tercengang.  Thomas A. Edison merupakan salah seorang penemu berkebangsaan Amerika yang paling cerdas dan berpengaruh di sepanjang zaman.  Sekalipun ia hanya bisa dikategorikan sebagai baru mengecap pendidikan 3 tahun saja (yang dapat disejajarkan dengan kelas 3 SD), namun ia dapat mengubah dunia gelap menjadi dunia terang.  Pencapaian Thomas A. Edison tidak ditemukan tanpa pengorbanan; tidak ditemukan tanpa berkeringat.  Ribuan kali percobaan telah ditempuh tanpa lelah.  Ia tidak berhenti sebelum keberhasilan itu menjadi kenyataan. Alhasil, bohlam lampu dan aneka hiburan di rumah kita adalah hasil kerja keras yang merupakan mahakarya Thomas A. Edison. 
Para penemu kelas dunia yang bekerja keras siang dan malam tidak mengenal lelah bahkan terkesan tidak peduli terhadap kehidupan dan jiwa mereka. Marie Curie (1867), seorang ahli kimia, tokoh perempuan -- yang bersama dengan suaminya, Pierre Curie, adalah peneliti perintis dalam bidang radioaktif untuk kemanusiaan.  Menurut catatan sejarah, mereka memenangkan dua Hadiah Nobel yang merupakan kebanggaan, namun tidak memperoleh keuntungan harta kekayaan dari penemuan spektakuler mereka. Tragisnya, pekerjaan yang selama ini ditekuni, justru itulah yang menewaskan mereka. Tokoh lain adalah Bill Gates. Bill Gates telah mengubah cara kita melihat dunia.  Ia menjadi inspirator bagi kita terutama para tokoh komputer di seluruh dunia.  Dalam biografi Bill Gates diceritakan bahwa untuk membuat Hard Drive yang ia geluti selama bertahun-tahun, ia pernah tidak tidur selama seminggu tanpa henti sampai pada akhirnya ia jatuh tertidur memeluk komputernya saat ia telah mencapai tingkat puncak dari penemuannya.  Kisah-kisah kehidupan para tokoh ini berawal dari upaya dan kerja keras. 


Nilai Kerja dan Kebahagiaan
Umumnya, bekerja bertujuan untuk memenuhi standar agar dapat hidup layak (terpenuhinya nafkah/kebutuhan pokok). Dalam teks-teks Kitab Suci Alkitab berulangkali menyentuh aspek dari nilai kerja itu sendiri.  Banyak tokoh Alkitab memperlihatkan kegigihan mereka untuk bekerja sehingga mereka berbahagia. Kisah kehidupan pribadi Yakub misalnya, memperlihatkan keuletan dan kegigihannya bekerja kepada mertuanya, Laban. Disebutkan bahwa ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan, cita-cita, dan masa depannya.
Kitab Amsal Salomo menyadarkan kita tentang filosofi kerja yang mesti jauh dari pengaruh kemalasan bahkan diperintahkan untuk belajar dari ilmu semut. Anjuran agar kita belajar kepada semut memuat nilai tentang apa yang disebut dengan bekerja. Tentu saja, orang normal akan “tersinggung” dengan anjuran belajar dari semut yang notabene adalah makhluk rendah. Namun, faktanya tidak bisa dibantah bahwa sesungguhnya manusia telah banyak lalai.  Filosofi semut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum hidup yang mengedukasi kita agar bekerja ulet, bekerja maksimal, bekerja pintar, bekerja cerdas, berjiwa sosial, berjiwa investatif, berjiwa futuris, dlsb.
        Rasul Paulus dalam beberapa tulisannya, ia menegaskan tentang pentingnya bekerja.  Bagi dia, bekerja adalah kehidupan. Bila tidak bekerja akan mengganggu kehidupan. Karena itu, dengan bahasa sarkastis menyatakan bahwa “bila seseorang tidak mau bekerja, jangan diberi dia makan”. Perkataan ini masih relevan dengan kondisi kita pada zaman ini. Artinya, harus bekerja guna mendapatkan makanan.  Mendapatkan makanan karena bekerja merupakan jalur halal dan terhormat. Booker T. Washington, mantan budak, tokoh masyarakat Negro menyatakan, “Semua pekerjaan yang dilakukan dengan baik dan tulus adalah pekerjaan yang terhormat”. Diluar dari jalur ini adalah jalur instan, jalur haram, jalur potong kompas yang bermental koruptif. Inilah yang sedang tertuai dan ‘membudaya’ di negara kita yang mesti direvolusi.
Alam Indonesia yang kaya raya adalah anugerah Ilahi. Potensi alam yang melimpah ruah sesungguhnya adalah sumber kebahagiaan.  Kondisi alam inilah menyemangatkan seluruh anak bangsa untuk berani bekerja menaklukkan, mendayagunakan, dan mengelolanya guna meraih kejayaan.  Dengan dasar ini, kita dapat menyatakan bahwa tidak ada lagi tempat bagi orang-orang yang berlindung di balik slogan pengangguran dan kemiskinan. Kitab Suci Alkitab tidak mengenal dan tidak merestui pengangguran. Terminologi pengangguran dan kemiskinan adalah keliru dan cenderung pembodohan. Muatan sesungguhnya adalah karena kemalasan. Karena itu, tidak ada tempat bagi pengangguran dan kemiskinan karena manusia dicipta dengan natur-konstitusional yang memadai – yang memampukannya untuk bekerja keras, berinovasi, dan berpikir kreatif sehingga melahirkan ide-ide spektakuler melalui karya nyata bagi terciptanya kebahagiaan. Salam kerja.




[1]Dosen Tetap/Wakil Ketua II Bidang Adum & Keuangan STT Jaffray Jakarta; Pemerhati Spiritualitas.

0 komentar:

Posting Komentar