MENCARI PEMIMPIN YANG MELAYANI

, , No Comments



“MENCARI PEMIMPIN YANG MELAYANI”

oleh Nasokhili Giawa[1]

      Topik tentang pemimpin dalam kepemimpinan selalu menjadi bagian yang menarik untuk diperbincangkan.  Pada umumnya, pemimpin selalu berhubungan dengan tugas melayani, sekalipun tidak semua yang melayani disebut sebagai pemimpin.  Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang tahu melayani dan berupaya tahu untuk melayani.  Pemimpin yang melayani yang berkarakter adalah pemimpin yang mampu menyeimbangkan antara teori dan praktik ketika kepemimpinan itu berproses. Hanya saja, apakah para pemimpin sudah melayani? Pertanyaan ini adalah pergumulan kita bersama. Hal ini juga yang menjadi alasan sehingga judul artikel ini bersifat interogatif dan bernada iklan.
      Saya ingin mengarahkan pengembaraan pemikiran kita tentang karakter pemimpin yang menjadi indikator dasar untuk memahami siapakah seorang pemimpin itu.  Tokoh Katolik, A.M. Mangunhardjana dalam bukunya yang berjudul “Kepemimpinan” menjelaskan  karakteristik pemimpin. Ia berpendapat bahwa pemimpin adalah “orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran – pendapat – tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya”[2] Pemikiran Mangunhardjana ini menyajikan secara gamblang tanggung jawab seorang pemimpin dalam mengejawantahkan kepemimpinannya. Kebenaran ini memperlihatkan bahwa pemimpin adalah model  utama untuk menggerakkan seluruh elemen terkait dari kepemimpinan itu sendiri.
      Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian memimpin dengan memposisikan diri sebagai pribadi yang “memegang tangan seseorang sambil berjalan, membimbing, mengetuai, memandu, memenangkan, dan melatih.  Kepemimpinan adalah perihal memimpin atau cara memimpin[3]. Dalam perspektif kepemimpinan mana pun, proses kerja, mekanisme pelayanan, dan tanggung jawab memimpin menyentuh prinsip-prinsip ini.
      Ken Blanchard dan Terry Waghorn dalam buku “The Heart of A Leader” menyatakan, “Sebagai seorang pemimpin, tindakan penting yang mesti anda buat dalam mengawali hubungan-hubungan anda adalah menata hubungan anda dengan diri anda sendiri”[4].  Implikasi dari pernyataan ini meliputi: Pertama, menjadi pemimpin harus dimulai dari diri sendiri.  Keberhasilan memimpin diri sendiri menjadi modal dasar untuk memimpin orang lain; menjadi acuan dalam proses memimpin pada tingkat yang lebih tinggi.  Kedua, pemimpin berelasi dengan orang yang dipimpin yang berbeda dari segi karakter, latar belakang budaya, dan tingkat pendidikan/pengetahuan. Karena itu, seorang pemimpin semestinya memiliki kemampuan kepintaran sosial (social quotient).  Ketiga, pemimpin selalu berintrospeksi diri (self talk) secara berkelanjutan untuk menemukan format dan karakter hidup yang terhormat berdasarkan nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal untuk diejawantahkan secara bersinambung.

Terpanggil sebagai Pemimpin
      Tidak ada satu pun yang kebetulan terjadi di kolong langit ini. Semua diatur oleh Yang Kuasa, yaitu Allah. Kitab Suci Alkitab menyatakan bahwa “Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga” (Yohanes 3:27).  Dalam konteks ini, hal menjadi pemimpin adalah panggilan ilahi.  Yakob Tomatala dalam bukunya, “Kepemimpinan Kristen” menyatakan bahwa “Allah yang oleh kehendak-Nya yang berdaulat, telah menetapkan serta memilih setiap pemimpin Kristen kepada pelayanan memimpin.”[5]  Sesungguhnya, pernyataan ini merupakan penegasan dari kebenaran yang telah dituliskan oleh rasul Yohanes tentang premis utama bahwa Allahlah yang memanggil dan meneguhkan seorang pemimpin sesuai dengan kedaulatan dan kehendak-Nya.
      Memimpin sebagai panggilan merupakan hak istimewa (privilege) yang perlu diawali dan diakhiri dengan baik.  Perlu disadari juga bahwa periode kepemimpinan dibatasi oleh waktu. Searah dengan waktu kairos dan waktu kronos. Ada aturan yang mengikat. Ada rambu-rambu yang harus dijunjung tinggi. Ada sistem baku yang mendasarinya.  Selain itu, harus taat pada waktu dan peluang.  Dengan dasar ini, semestinya para pemimpin menyadari bahwa menjadi pemimpin adalah periode anugerah. Cepat atau lambat harus berhenti karena waktu. Karena itu, sepatutnya para pemimpin menyadari dengan sungguh-sungguh agar selama periode memimpin dapat mengawali dan mengakhiri kepemimpinan dengan baik (starting well and finishing well).  Mengakhiri kepemimpinan dalam konteks ini, tidak berarti berlangsung dalam durasi yang harus dipertahankan apa pun risikonya. Bila karakter seperti ini menjadi dominan akan menjadi salah satu jebakan “neraka” dalam proses kepemimpinan. Idealnya, bila durasi telah berakhir, maka durasi itulah adalah batas akhir yang baik.  Perlu introspeksi diri dan berhenti pada titik itu.

Terpanggil sebagai Pelayan
      Terlepas dari pengamatan subjektif saya, Presiden Jokowi sebelum terpilih sebagai Walikota Solo dan sebelum terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta serta sebelum menjadi Presiden ke-7 RI telah membuktikan bahwa dia adalah pemimpin yang melayani tanpa banyak embel-embel. Saya yakin bahwa kebiasaan seperti itu telah menjadi gaya hidup (life style) sang Presiden sebelum dikenal publik sebagai sosok pemimpin yang melayani. Dalam buku yang memuat kisah kehidupannya yang berjudul “Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker” yang ditulis oleh Yon Thayrun memperlihatkan kisah kehidupan yang pantas ditiru.  Ia tumbuh dalam kondisi keluarga yang serba pas-pasan.  Namun, jalan hidup yang diatur oleh sang Pencipta berkata lain.  Tentu, tidak diraih tanpa perjuangan. Tidak diraih tanpa dimulai dari sikap melayani yang dimulai dari bawah.  Kini ia sebagai Presiden RI, membuktikan dirinya layak diperhitungkan di kancah kehidupan dunia.  Ia pun dengan gampang menerobos atmosfir level mana pun karena kebiasaan dan pembiasaan yang telah membaku.  Ia mengambil sikap untuk turun ke bawah dari takhta yang tinggi yang selama ini dipertontonkan oleh para pemimpin kebanyakan.  Jargon ‘blusukan’ pun menjadi ‘buah bibir’ yang mengindonesia, merakyat/membumi bahkan mendunia.
      Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti melakukan gebrakan yang tidak lazim oleh banyak pendahulu pascadilantik sebagai menteri.  Dapat saya katakan bahwa ia menjadi bintang kelas di antara sekian banyak kabinet sekaligus buah bibir banyak orang baik yang pro maupun kontra terhadap kebijakan di kementerian yang dipimpinnya. Berbagai tanggapan variatif yang mencoba merendahkan/mendiskreditkan; meragukan kemampuannya karena berbagai faktor.  Salah satu faktor dominan adalah pendidikannya yang belum menamatkan studi sampai pada tingkat SMA.  Namun, kenyataan berbicara lain bahwa ternyata ia adalah pekerja keras yang melayani dan yang jauh dari teori pencitraan.[6] Perilaku seperti ini jarang ditemukan di dalam diri seorang pemimpin dan bahkan bertolak belakang dengan apa yang dikatakan dan apa yang menjadi produk dari perkataan itu di lapangan.
      Beberapa menteri pada Kabinet Kerja baik secara langsung maupun tidak langsung mengikuti jejak sang Presiden Jokowi untuk memperlihatkan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dekat dan melayani rakyat. Pemimpin yang memberi diri secara tulus untuk melihat langsung (blusukan) di lapangan -- sekalipun gaya ini ditanggapi beragam dengan label pencitraan bahkan ada yang mencibirkan bibirnya dengan mengaku mau muntah dengan gaya atau kegiatan tersebut.  Ketika ketulusan dan kejujuran hati nurani dalam pelayanan yang lahir secara original; terbentuk apa adanya; terlaksana tanpa rekayasa, maka sesungguhnya pada saat yang sama mendapat identitas dan legitimasi sebagai pemimpin yang melayani.  Pemimpin yang melayani tidak akan terganggu oleh kondisi dan ulah siapa pun sampai hal-hal yang baik membrojol menjadi kenyataan.
      Jauh sebelum tokoh-tokoh teladan yang disebutkan di atas, Yesus Kristus telah mengajarkan tentang prinsip melayani.  Dia mengajar para murid dan pengikut-pengikutnya dengan menyeimbangkan antara teori dan praktik.  Bagi-Nya, teori dan praktik merupakan bagian yang tidak terpisahkan.  Ketika berbicara tentang nilai melayani, penulis Injil Markus menyatakan bahwa Yesus Kristus datang untuk melayani dan bukan dilayani (bdk. Markus 10:45). Praktik lapangan dilakukan secara konsisten. Dialog dan kehadiran Yesus Kristus di tengah-tengah masyarakat memperkuat tentang motivasi pelayanannya.  Perjumpaan-Nya dengan pergumulan masyarakat bahkan kebutuhan terasa seperti makanan, minuman, kesembuhan, perlindungan, hak asasi yang terbelenggu, masyarakat marginal menjadi titik perhatian-Nya. Ini merupakan kriteria pemimpin yang melayani.
      Puncak pelayanan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus pun menjadi menarik. Kisah pembasuhan kaki para murid-Nya adalah contoh konkrit betapa pentingnya pemimpin berhati melayani. Sungguh jauh dari rekayasa. Jauh dari pencitraan. Kerajaan-Nya adalah kerajaan yang sungsang (the Upside-Down kingdom) ketika berhadapan dengan dunia yang serba bengkok. Kebengkokan ini dikritisi dan diungkapkan oleh Donald B. Kraybill dalam bukunya, “Kerajaan yang Sungsang”.  Kraybill memperlihat bahwa Yesus Kristus menjungkirbalikkan dunia sosial yang sarat dengan kemunafikan dan rekayasa.  Asumsi umum tentang kebesaran dapat diurutkan posisi sebagai yang di atas, takhta, penuh kuasa, tuan, pertama, pemimpin, dewasa, uban, harta, kuda, mobil anti peluru, jas, dsb. Justru, Yesus Kristus merumuskan kebesaran dengan logika bawah, gubuk, pelayan, budak, jongos, terakhir, anak-anak, jalan kaki, baju kerja, keledai, dsb. Yesus Kristus mengajarkan kepemimpinan yang sejati.  Yesus Kristus membalikkan seratus delapan puluh derajat tentang konsep kepemimpinan. Semua ini memperlihatkan bahwa pemimpin adalah pelayan yang mampu merasakan apa arti simpati, empati, dan sikap altruis tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Memimpin dengan Jiwa Profetis
      Tantangan para pemimpin yang melayani tidak mudah.  Ia akan berhadapan dengan orang-orang yang berseberangan dengannya.  Hal ini sedang kita rasakan dalam konteks keindonesiaan. Karena itu, seorang pemimpin yang melayani mesti memastikan unsur kenabiannya.  Frank M. Boyd mengutip tanda-tanda seorang nabi sebagaimana ditulis oleh Dr. Kyle M. Yates dalam karyanya, “Preaching from the Prophets”[7] dengan sejumlah impruvisasi.  Tanda-tanda tersebut, antara lain: Pertama, seorang nabi adalah pribadi yang selalu tidak suka kompromi.  Ia tidak dapat diikat oleh adat atau pendapat umum atau dikekang oleh sikap berhati-hati para diplomat. Kedua, seorang nabi sadar akan panggilan ilahi yang mengikatnya kepada tugas. Panggilan ilahi itu harus ditaati.  Ketiga, seorang nabi sadar akan hak istimewa masuk kehadiran Allah. Keempat, seorang yang giat dan berterus-terang.  Ia tidak segan-segan melawan ketidakbenaran. Mengeritik kejahatan-kejahatan tertentu yang terjadi dalam masyarakat.  Para raja, imam, pemimpin, orang bangsawan, dan hakim ditegur dengan tidak kenal ketakutan.  Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang berjiwa profetis.
      Dalam buku “Merubah Indonesia: The Story of Basuki Tjahaja Purnama, Plt. Gubernur DKI Jakarta,” yang diedit oleh Jani Ginting, dkk. menjelaskan tentang hati dan kecintaan Basuki Tjahaja Purnama terhadap negeri yang telah membesarkannya -- terhadap bangsa Indonesia sebagai ibu pertiwi dengan menghargai pluralitas suku, agama, etnis, budaya, dan golongan. Ia memaparkan secara blak-blakan tentang motivasi hatinya tanpa kompromi. Tidak mengherankan bila dia dicap sebagai orang yang besar bacot dan terkesan sarkastis.  Ia melawan arus political voice dengan prophetical voice dengan menjalankan fungsi kenabian tanpa ragu yaitu menyuarakan kebenaran dan keadilan sekalipun dengan berbagai macam risiko. Dalam banyak hal, ia mengupayakan tentang kesejahteraan rakyat yang kurang beruntung tanpa membeda-bedakan – tanpa berupaya mencari muka (pencitraan). Ini adalah salah satu contoh pribadi dan kehidupan yang melayani.  Sesungguhnya, ini adalah pesan mendasar dari Alkitab yang telah dijalani oleh Yesus Kristus.
      Tentang terminologi “mencari muka” bukanlah terminologi baru.  Ketika orang-orang Herodian menyaksikan tentang Yesus Kristus sebagaimana dikisahkan oleh Injil Sinoptik (Matius 22, Markus 12, Lukas 20), mereka menyatakan bahwa Yesus Kristus seorang yang jujur; mengajar pada jalan Allah, tidak takut kepada siapa pun juga, dan tidak mencari muka.  Orang yang mencari muka (Yun: melei = mencari perhatian; mencari muka) adalah orang yang dapat merekayasa dan memutarbalikkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran.  Padahal sesungguhnya sangat jauh dari kebaikan, keadilan, dan kebenaran.  Orang-orang yang “melei” adalah bentuk ‘methodeia” yaitu kelicikan dan tipu muslihat ala Iblis.  Karena itu, para pemimpin atau orang-orang yang senang mencari muka adalah pemimpin gadungan yang telah dikuasai oleh kuasa Iblis.  Mereka adalah penipu yang tidak layak disebut sebagai pemimpin.

Memimpin dengan Hati Nurani
      Hati adalah perasaan, jiwa, batin, atau umumnya disebut sebagai tempat menyimpan pengertian. Nurani berasal dari kata “nur” yang berarti cahaya.  Bila kedua kata ini digabungkan, hati nurani adalah perasaan, jiwa, atau batin manusia yang telah diterangi oleh cahaya agar memancarkan terang.  E.B. Surbakti dalam bukunya, “Manajemen dan Kepemimpinan Hati Nurani” menjelaskan alasan pentingnya hati nurani di dalam kepemimpinan.  Ia menyatakan bahwa hati nurani menuntun seorang pemimpin menjadi arif dan bijaksana dalam melaksanakan kepemimpinannya. Bagi dia, hati nurani merupakan benteng terakhir penjaga dan pengendali moral pemimpin agar tidak melenceng atau terjerumus melakukan tindakan bejat, biadab, tidak bermoral, tidak manusiawi, atau berperilaku bertentangan dengan norma-norma dan kepatutan sosial dari keuntungan sendiri”[8].  Kebenaran ini menjelaskan urgensi manajemen hati nurani seorang pemimpin yang melayani.
      Memimpin dengan hati nurani melibatkan segenap hati.  Alkitab menempatkan hati sebagai basis dari kehidupan.  Sebagai basis dari kehidupan, Alkitab mewanti-wanti para pendengarnya agar menjaga hati.  Amsal Salomo menyatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan (Amsal 4:23).  Salah satu jebakan kejatuhan para pemimpin adalah bila telah lalai memanajemeni hati. Fakta membuktikan bahwa banyak pemimpin telah menjadi gagal karena masalah hati.  Hati yang bengkok, hati yang kotor, dan berpotensi berperilaku tinggi hati adalah kebencian bagi Tuhan.  Karena itu, rasul Paulus menegaskan agar kita belajar dari Sang Guru Hati Nurani yaitu Yesus Kristus.  Ia adalah teladan kerendahan hati sebagaimana dijelaskan dalam Filipi 2:1-11 yang sering disebut sebagai teori kenosis (teori pengosongan diri).
      Rendah hati tidak sama dengan rendah diri (minder/inferior).  Rendah diri adalah sifat seseorang yang merasa dirinya kurang.  Ada kecenderungan tidak menghargai diri sendiri.  Mental bahkan jiwanya menjadi terganggu. Sedangkan rendah hati adalah sifat seseorang yang tidak sombong atau tidak angkuh.  Tuhan Yesus sendiri memberikan kesaksian bahwa Dia adalah teladan kerendahan hati.  Hal ini disaksikan oleh Yesus Kristus sendiri sebagaimana dicatat oleh Matius bahwa “Ia lemah lembut (praus) dan rendah hati (tapeinos te kardia)” (lihat Matius 11:29).
      Berdasarkan Filipi 2:1-11 memberi nilai dan pengaruh bagi kehidupan kita. Apa akibat bila kita rendah hati? Pertama, membuat kita tetap bersyukur kepada Tuhan dalam segala kondisi dan keadaan (ay. 1). Orang yang rendah hati menyadari bahwa ternyata ada langit di atas langit. Maksudnya, ada yang lebih tinggi dari dirinya sendiri.  Alkitab mengajarkan kita agar tidak sombong/tidak angkuh karena kesombongan dan keangkuhan adalah kebencian bagi Tuhan.  Praktik kesombongan pernah dilakukan oleh malaikat di surga.  Malaikat yang sombong tersebut (Yesaya 14 dan Yehezkiel 28) ingin menyamai yang Mahatinggi.  Akibat dari ulahnya tersebut, ia dibuang dari surga dan akhirnya menjadi malaikat jahat yang dinamai Setan/Iblis. Kehadiran Yesus Kristus menjadi teladan kehidupan bagi umat manusia.  Di dalam Dia ada nasihat/petunjuk utk hidup, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra, dan belas kasihan. Kedua, membuat kita taat kepada Tuhan dengan mengutamakan melayani orang lain (ay. 2-7).  Rendah hati dalam hubungannya dengan orang lain, rasul Paulus memberikan definisi yang sangat jitu dengan menyatakan, “menganggap yang lain lebih utama dari yang lain” (Filipi 2:3). Siklus seperti ini yang perlu ditiru karena bersifat aktif. Aktif karena kitalah yang memulai dan bukan menunggu.  Kitalah yang berinisiatif terlebih dahulu.  Dan inilah yang Tuhan Allah lakukan untuk menggapai manusia.  Hal ini juga yang dikisahkan oleh rasul Paulus di dalam Filipi 2:1-11, yaitu: a. Tidak mencari kepentingan sendiri (ay. 3); b. Orang lain lebih utama dari diri sendiri (ay. 4); c. Mengosongkan diri – tidak mempertahankan apa yang menurut kita baik, benar, adil, dsb. (ay. 7).
      Di dalam kitab Yohanes menjelaskan kepada kita tentang bagaimana pribadi yang rendah hati itu dalam praktiknya.  Kisah pembasuhan kaki para murid (Yohanes 13) merupakan sikap yang patut diteladani.  Melayani tanpa perhitungan kerugian. Melayani penuh pengabdian dan ketulusan.  Ketiga, membuat kita diberkati oleh Tuhan (ay. 8-11). Orang yang rendah hati adalah sarana yang dipakai oleh Tuhan untuk memberkati kita.  Sifat ini bukan sementara saja tetapi selama kita hidup di dunia.  Yesus Kristus rendah hati sampai pada akhir kehidupannya.  Alkitab mencatat bahwa Yesus telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di salib (ay. 8).  Dalam beberapa bagian dari firman Allah, dijelaskan bahwa kerendahan hati ada hubungannya dengan: a. Perjalanan lurus; mudah rejeki (Mazmur 25:9); b. Keselamatan (Mazmur 149:4; Zefania 3:12); c. Warisan/takhta (Mazmur 37:11); d. Pujian (Amsal 29:23).
      Sikap rendah hati menjadi jembatan berkat bagi banyak orang.  Yesus Kristus rendah hati sehingga Alkitab menyaksikan bahwa Ia ditinggikan bahkan dikaruniakan nama di atas segala nama yaitu Tuhan dan Juruselamat manusia.  A.M. Mangunhardjana menempatkan sikap rendah hati “lahir dari usaha mengenal diri.  Orang menjadi rendah hati karena dia mengenal diri sendiri ... Dia mengenal kelebihan dan kekurangannya, kekuatan, dan kelemahannya, keistimewaannya, dan cacadnya.  Karena mengenal diri, dia tahu betapa tinggi harga dirinya.  Dia merasa yakin bahwa dirinya dapat menyumbangkan sesuatu kepada sesamanya sesuai dengan kelebihan yang ada padanya”[9].  Pengenalan terhadap diri sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kesuksesan seseorang.  Ada hubungan erat antara mengenal diri dengan segala kelebihan dan keterbatasan. Ada hubungan antara mengenal diri dengan keberhasilan dalam keluarga, kepemimpinan, dan organisasi.

Memimpin dengan Kasih
      Kasih adalah yang terpenting dari segalanya.  Kasih merupakan inti pengajaran Kitab Suci Alkitab. Tatkala rasul Paulus menyimpulkan nilai antara iman, pengharapan, dan kasih, ia bersimpulan bahwa yang paling besar di antara ketiganya adalah kasih (bdk. I Korintus 13:13).  Kasih dalam bahasa populernya adalah cinta.  Buku yang ditulis oleh Dr. Julianto Simanjuntak bersama Dra. Roswitha Ndraha “Mencinta hingga Terluka” memuat rahasia tentang mencintai orang yang tidak pantas dicintai.  Mereka menuliskan sifat cinta, antara lain: cinta itu memaafkan – mengampuni; cinta itu memulihkan; cinta itu harus berkorban; cinta itu sabar; cinta itu tangguh[10]. Paparan Julianto dan Roswitha tentang karakter yang harus dihadirkan dalam proses mencintai menekankan betapa pentingnya kasih yang dibangun atas dasar kasih yang tulus seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus.  Kisah Eric Segal sebagaimana dikutip oleh Ken Blanchard dan Terry Waghorn dalam buku “The Heart of A Leader” menyatakan, “Kasih tidak pernah menyatakan ‘saya menyesal’” tetapi kasih diberi karena ketulusan hati.[11]  Seorang pemimpin yang melayani harus menyadari tentang pentingnya kehadiran kasih.  Tanpa kasih dalam kepemimpinan maka kepemimpinan itu akan terganggu.



Konklusi
      Pada era serba canggih ini, banyak pemimpin (dalam semua kategori) yang hanya mementingkan diri sendiri dan golongannya dengan berbagai macam cara, trik, dan gaya ‘tipu-tipu’ ala orang Farisi.  Semua menuju ke abu-abu bahkan gelap-gulita.  Ini adalah wajah seram yang sedang berlangsung dalam kepemimpinan pada zaman sekarang ini yang mesti diantisipasi dan diwaspadai.  Fenomena ini telah mengemuka di segala bidang kehidupan dan profesi baik di lingkungan sekular maupun di lingkungan sakral sekalipun dikotomi istilah ini perlu dikoreksi.
      Seorang pemimpin yang baik mesti ia turun dan melihat ke ‘bawah’. Dia hadir untuk memperbanyak praktik lapangan. Dia hadir dengan ketulusan berdasarkan kebenaran tanpa bertopengkan rekayasa yang tidak populer. Karena itu, seperti yang telah diuraikan di atas bahwa pemimpin yang baik perlu memastikan bahwa ia terpanggil sebagai pemimpin, terpanggil sebagai pelayan yang memiliki: jiwa profetis dengan sifat khas yang melekat kepadanya; yang memiliki hati nurani dan kasih untuk melayani dan bukan untuk dilayani.

KEPUSTAKAAN

A.M. Mangunhardjana
      1993    Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius.

Ginting, Jani, dkk. (editor).
      2012    Merubah Indonesia: The Story of Basuki Tjahaja Purnama. Jakarta: PT Gramedia.

Frank, M. Boyd
      1953    Kitab Nabi-Nabi Kecil. Malang: Gandum Mas.

Kraybill, Donald B.
      1993    Kerayaan yang Sungsang. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ken Blanchard & Terry Waghorn
      1999    The Heart of A Leader. New York: Stars.

Simanjuntak, Julianto dan Roswitha Ndraha
      2009    Mencinta Hingga Terluka. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Surbakti, E.B.
      2012    Manajemen dan Kepemimpinan Hati Nurani. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Tomatala, Yakob
      2002    Kepemimpinan Kristen. Jakarta: YT Leadership Foundation.

Yon Thayrun
      2012    Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker. Bandung: Noura Books.




[1]Dosen Tetap/Wakil Ketua II STT Jaffray Jakarta/Pemerhati Spiritualitas.
[2]A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 11.
[3]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 769.
[4]Ken Blanchard & Terry Waghorn, The Heart of A Leader, New York: Stars Publishing, 1999, hlm. 158.
[5]Yakob Tomatala, Kepemimpinan Kristen, Jakarta: YT Leadership Foundation, 2002, hlm. 15.
[6]Mudah-mudahan saya tidak salah menilai. Waktulah yang akan mengoreksi sampai wajah originalitas menjadi nyata.
[7]Frank M. Boyd, Kitab Nabi-Nabi Kecil, Malang: Gandum Mas, 1953, hlm. 7-8.
[8]E.B. Surbakti, Manajemen dan Kepemimpinan Hati Nurani.  Jakarta: PT Gramedia, 2012, hlm. 2.
[9]Ibid, hlm. 55.
[10]Dirangkum dari pemikiran Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha dalam buku Mencinta Hingga Terluka. Jakarta: Gramedia, 2009, hlm. 1-147.
[11]Ken Blanchard & Terry Waghorn. The Heart of A Leader. New York: Stars, 199, hlm. 6.

0 komentar:

Posting Komentar