Saya menyambut gembira ketika Ketua
STTIK Kupang meminta saya untuk menuliskan artikel yang berhubungan dengan
syukuran Diesnatalis STTIK Kupang ke-50. Perjalanan yang sudah menyentuh
setengah abad lamanya tentu banyak pembelajaran yang sangat berharga bagi
seluruh sivitas akademika STTIK Kupang dan sudah tentu bagi seluruh stakeholdersnya. Atas nama pribadi dan keluarga serta sebagai
Ketua Departemen Pendidikan dan Pengembangan SDM GKII menyampaikan Selamat dan
Sukses atas syukuran Diesnatalis ke-50 kepada STTIK Kupang. Doa kami, kiranya STTIK Kupang semakin berjaya
dan semakin dipakai oleh Tuhan untuk menyiapkan para pemimpin intelektual berhati
hamba di tengah-tengah kompleksitasnya pelayanan gereja Tuhan di Indonesia; secara
khusus di tengah-tengah pelayanan Gereja Kemah Injil Indonesia saat ini.
Tema yang diusung dalam syukuran Diesnatalis
ke-50 ini memuat tentang ajakan untuk bekerja selama masih siang yang dirangkum
dari Yohanes 9:1-41 secara khusus ayat 4.
Sesungguhnya ayat ini berhubungan erat dengan pasal sebelumnya dan pasal
sesudahnya. Tafsiran Alkitab Wycliffe (Volume 3) menyatakan bahwa “Bagian ini
ada hubungannya dengan 8:12 sebab pada saat ini klaim Kristus bahwa diri-Nya
adalah terang dunia dibuktikan. Bagian ini juga mempunyai hubungan yang erat
dengan pasal berikutnya, sebab 10:21 menunjukkan sekilas kesan yang timbul
karena mujizat ini”.
Pembuktian atau eksekusi tentang pengejawantahan “bekerja selama masih siang”
ditunjukkan oleh Yesus Kristus dalam kasus pemulihan orang yang lahir buta.
Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya pertanyaan para murid kepada Yesus Kristus.
Pertanyaan urgen yang disampaikan oleh para murid adalah seputar penyebab utama
orang yang disebutkan dalam teks itu menjadi buta. Analisis sementara para murid disebabkan oleh
karena dosa sehingga orang tersebut menjadi cacat/buta. Hal yang menarik dalam dialog itu, justru
Tuhan Yesus mengalihkan pikiran mereka pada konsep lain yang seakan-akan Tuhan sedang
menyatakan bahwa bukan lagi saatnya mencari sumber persoalan atau sumber masalah;
bukan lagi saatnya hanya berbicara, tetapi kini saatnya memadukan unsur berbicara,
bekerja, dan berbuat dengan kualitas unggul.
Uraian Tafsiran Alkitab Wycliffe memperjelas bahwa “Yesus mengajak
murid-murid-Nya meninggalkan spekulasi sia-sia menuju tindakan. Saat untuk bekerja (masih siang) terlalu singkat. Naskah-naskah kuno yang lebih baik berbunyi,
“kita harus bekerja”. Sang Guru sedang
menghubungkan para murid dengan diri-Nya sendiri.
Dalam konteks ini, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa Tuhan Yesus sedang mengajar tentang betapa pentingnya semangat bekerja
yaitu bekerja untuk melayani Tuhan – total dan komprehensif – selama masih siang.
Kata “siang” dalam teks Yunani disebut “
ἡμέρα = Hemera.” Kata ini memiliki
makna yang mendalam dan luas. Kata “
hemera”
menjelaskan minimal empat hal
:
Pertama, kata ‘
hemera’ berbicara tentang hari biasa (hari alamiah) yaitu waktu
antara matahari terbit dan matahari terbenam (12 jam). Waktu inilah yang kebanyakan digolongkan
sebagai kesempatan untuk melakukan tugas atau pekerjaan. Dalam perspektif masyarakat Yahudi maupun
Yunani bahkan perspektif masyarakat pada umumnya, malam adalah waktu untuk
kembali ke tenda/rumah untuk beristirahat dari kelelahan bekerja. Pun pada masa
itu, bila hari sudah menjadi gelap/malam, tidak memungkinkan lagi dapat
bekerja. Teknologi penerangan/listrik
belum ditemukan. Tentu, berbeda dengan zaman sekarang yang sudah sangat canggih
yang memungkinkan setiap orang dapat bekerja pada siang hari dan malam hari
tanpa diukur oleh terbenamnya matahari.
Tentu, rumusan kerja dengan menggunakan waktu antara matahari terbit
dengan matahari terbenam tidak terlalu relevan lagi dengan zaman sekarang yang sudah
mengalami kemajuan konsep dan peradaban.
Kedua, kata ‘
hemera’ berbicara tentang hari sipil
yang memuat waktu dengan durasi 24 jam. Suatu waktu yang sangat efektif dan fleksibel
untuk melakukan tugas. Kesempatan untuk
mengatur jadwal kerja pun sangat dimungkinkan.
Dalam pembagian durasi waktu 24 jam tersebut dapat dibagi lagi dalam tiga
bagian aktivitas yaitu 8 jam kerja, 8 jam tidur, 8 jam untuk keluarga/rileks/relaksasi. Pembagian ideal ini dipraktikkan oleh
kebanyakan orang – walaupun ada yang menggunakan hampir seluruh hidupnya untuk
bekerja. Namun karakter seperti ini tidak direkomendasikan sebab sangat
bertentangan dengan hukum biologis-fisikal manusia. Bila ini dipraktikkan, akan menempatkan bekerja
sebagai candu (
workchoholism).
Ketiga,
kata ‘
hemera’ berbicara tentang
eskatologi terutama berkaitan erat dengan Yesus Kristus dan kedatangan-Nya
kembali yang bertujuan menyempurnakan/menggenapkan hukum dan kerajaan-Nya. Pada
aspek ini, bekerja berkaitan erat dengan pelayanan Injil atau pemuridan.
Semangat pekabaran Injil sangat dipentingkan di sini.
Keempat, kata ‘
hemera’ menyangkut
hari kehidupan secara umum (
life time)
yang tidak dapat diduga kapan berakhirnya. Waktu inilah yang semestinya
dimaknai sebagai jembatan untuk menyadarkan diri bahwa hidup berbatasan dengan
durasi hidup yang Tuhan tetapkan berdasarkan kedaulatan kehendak-Nya. Alkitab telah meletakkan batas normal
kehidupan. Mazmur 90:10 menyatakan bahwa “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat,
delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab
berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Teks ini mengungkapkan kesadaran pemazmur
(Musa) tentang durasi kehidupan yang relatif pendek. Ia pun menyadari batas rata-rata kehidupan
untuk berkarya di dalam dunia ini. Ia juga menyadari fluktuasi kekuatan
fisik/kesehatan yang terangkum dalam istilah kuat. Kesadaran lain yang cukup menonjol adalah
adanya kesukaran dan penderitaan yang dinilai sebagai kebanggaan. Tampaknya, pemazmur sedang membisikkan
rahasia untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan bangga walaupun didera
dengan kesukaran dan penderitaan. Pemazmur sadar bahwa ada kekuatan dari Sang
Pemberi hidup untuk dapat bertahan menjalaninya. Pada klimaksnya, pemazmur
menyadari tentang waktu “kepergian” dari dunia ini untuk kembali kepada
Pencipta seperti yang diamati oleh Salomo melalui kitab Pengkhotbah.
Bekerja Sebagai Mandat Ilahi dalam Konteks Waktu “Hemera”
Kitab Suci
Alkitab Perjanjian Lama (Perjanjian Pertama) meletakkan dasar yang sangat kuat
tentang betapa pentingnya bekerja.
Setelah peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan berfiman kepada
Adam dengan berbunyi, “... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu
dari tanah seumur hidupmu ... dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu
sampai engkau kembali lagi menjadi tanah ...”.
Unsur-unsur yang terkait dalam pernyataan kebenaran ini, sebagai
berikut: Pertama, bahwa semua manusia
harus bekerja. Itu merupakan konsekuensi logis dari kejatuhan manusia ke dalam
dosa. Kedua, bahwa untuk bisa bertahan hidup mesti berusah payah. Tidak ada yang mendapatkan rezeki bila tidak
bersusah payah. Di luar batas ini akan cenderung korup bahkan dapat melanggar
aturan hidup dan kehidupan. Ketiga, bahwa untuk mendapatkan rezeki,
mesti berpeluh/berkeringat (Irani: ze’ah). Berkeringat merupakan indikator utama dalam
dimensi kerja walaupun tidak selamanya orang yang berkeringat dapat disamakan
dengan bekerja. Dalam konteks
berkeringat dalam pengertian yang sesungguhnya menunjukkan sikap serius yaitu
sikap yang sungguh-sungguh bekerja bahkan menanggung konsekuensi logis sampai
pada tingkat berkorban dan rela menderita sakit. Kebenaran ini menyentuh
hakikat kerja yang tidak terbantahkan oleh teori mana pun. Tindakan absen
menerjemahkan kebenaran ini menyebabkan persoalan serius yang berakibat buruk
kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Jansen H.
Sinamo yang dijuluki sebagai “Guru Ethos Indonesia” menyatakan bahwa “Manusia
sebagai makhluk pemburu sukses mengejawantahkan tujuan tersebut melalui kerja.
Namun, tanpa konsep sukses pun sebenarnya manusia selalu bekerja karena secara
hakiki manusia adalah makhluk pekerja”
. Apa yang dipikirkan dan dirumuskan oleh
Sinamo memperjelas kebenaran Kitab Suci bahwa manusia harus bekerja untuk
kelangsungan hidup dan kehidupan di tengah-tengah dunia fana ini.
Dalam teks-teks
Kitab Suci Alkitab berulangkali menyentuh aspek dari nilai kerja itu
sendiri. Banyak tokoh Alkitab
memperlihatkan kegigihan mereka untuk bekerja sehingga mereka berbahagia. Kisah
kehidupan pribadi Yakub misalnya, memperlihatkan keuletan dan kegigihannya
bekerja kepada mertuanya, Laban. Disebutkan bahwa ia bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan, cita-cita, dan masa depannya.
Kitab Amsal
Salomo menyadarkan kita tentang filosofi kerja yang mesti jauh dari pengaruh
kemalasan bahkan diperintahkan untuk belajar dari ilmu semut. Anjuran agar kita
belajar kepada semut memuat nilai tentang apa yang disebut dengan bekerja.
Tentu saja, orang normal akan “tersinggung” dengan anjuran belajar dari semut
yang notabene adalah makhluk rendah. Namun, faktanya tidak bisa dibantah bahwa
sesungguhnya manusia telah banyak lalai.
Filosofi semut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum hidup
yang mengedukasi kita agar bekerja ulet, bekerja maksimal, bekerja pintar,
bekerja cerdas, berjiwa sosial, berjiwa investatif, berjiwa futuris, dlsb.
Rasul Paulus dalam beberapa tulisannya,
ia menegaskan tentang pentingnya bekerja.
Bagi dia, bekerja adalah kehidupan. Bila tidak bekerja akan mengganggu
kehidupan. Karena itu, dengan bahasa sarkastis menyatakan bahwa “bila seseorang
tidak mau bekerja, jangan diberi dia makan (II Tesalonika 3:10)”. Perkataan ini
masih relevan dengan kondisi kita pada zaman ini. Artinya, harus bekerja guna
mendapatkan makanan. Mendapatkan makanan
karena bekerja merupakan jalur halal dan terhormat. Booker T. Washington,
mantan budak, tokoh masyarakat Negro menyatakan, “Semua pekerjaan yang
dilakukan dengan baik dan tulus adalah pekerjaan yang terhormat”. Diluar dari
jalur ini adalah jalur instan, jalur haram, jalur potong kompas yang bermental
koruptif. Inilah yang sedang tertuai dan ‘membudaya’ di negara kita yang mesti
direvolusi.
Alam Indonesia
yang kaya raya adalah anugerah Ilahi. Potensi alam yang melimpah ruah
sesungguhnya adalah sumber kebahagiaan.
Kondisi alam inilah menyemangatkan seluruh anak bangsa untuk berani
bekerja menaklukkan, mendayagunakan, dan mengelolanya guna meraih
kejayaan. Dengan dasar ini, kita dapat
menyatakan bahwa tidak ada lagi tempat bagi orang-orang yang berlindung di
balik slogan pengangguran dan kemiskinan. Kitab Suci Alkitab tidak mengenal dan
tidak merestui pengangguran. Terminologi pengangguran dan kemiskinan adalah
keliru dan cenderung pembodohan. Muatan sesungguhnya adalah karena kemalasan.
Karena itu, tidak ada tempat bagi pengangguran dan kemiskinan karena manusia
dicipta dengan natur-konstitusional yang memadai – yang memampukannya untuk
bekerja keras, berinovasi, dan berpikir kreatif sehingga melahirkan ide-ide
spektakuler melalui karya nyata bagi terciptanya kebahagiaan.
Filosofi Bekerja dalam Waktu “Hemera”
Para penemu
telah memperlihatkan betapa pentingnya bekerja keras. Tidak ada temuan spektakuler tanpa kerelaan
bekerja. Tidak ada temuan untuk mengubah
wajah peradaban bangsa tanpa kerja keras.
Para ilmuwan kontroversial, seniman besar, dan para pemikir terkemuka
sejak zaman renaisans telah melahirkan banyak ide kreatif yang memaslahatkan
semua umat manusia di bumi ini. Pada
masa mereka, anggapan orang kebanyakan menduga dan menuduh mereka seperti orang
gila bahkan kadang disebut ‘gila.’ Hal ini wajar karena ide mereka adalah
‘gila.’ Hal wajar pula karena memang di luar rasio orang kebanyakan. Tetapi,
jangan dipertanyakan apa tujuan mereka.
Jangan dipertanyakan jangkauan penemuan mereka. Tujuan mendasar adalah untuk
segenap hidup dan kehidupan umat manusia di seantero jagad raya baik untuk
generasi masa kini maupun generasi yang akan datang.
Tokoh-tokoh
penemu besar dunia telah membuat kita tercengang. Thomas A. Edison merupakan salah seorang
penemu berkebangsaan Amerika yang paling cerdas dan berpengaruh di sepanjang
zaman. Sekalipun ia hanya bisa dikategorikan
sebagai baru mengecap pendidikan 3 tahun saja (yang dapat disejajarkan dengan kelas
3 SD), namun ia dapat mengubah dunia gelap menjadi dunia terang. Pencapaian Thomas A. Edison tidak ditemukan
tanpa pengorbanan; tidak ditemukan tanpa berkeringat. Ribuan kali percobaan telah ditempuh tanpa
lelah. Ia tidak berhenti sebelum
keberhasilan itu menjadi kenyataan. Alhasil, bohlam lampu dan aneka hiburan di
rumah kita adalah hasil kerja keras yang merupakan mahakarya Thomas A. Edison.
Para penemu kelas
dunia yang bekerja keras siang dan malam tidak mengenal lelah bahkan terkesan
tidak peduli terhadap kehidupan dan jiwa mereka. Marie Curie (1867), seorang
ahli kimia, tokoh perempuan -- yang bersama dengan suaminya, Pierre Curie,
adalah peneliti perintis dalam bidang radioaktif untuk kemanusiaan. Menurut catatan sejarah, mereka memenangkan
dua Hadiah Nobel yang merupakan kebanggaan, namun tidak memperoleh keuntungan
harta kekayaan dari penemuan spektakuler mereka. Tragisnya, pekerjaan yang
selama ini ditekuni, justru itulah yang menewaskan mereka.
Tokoh lain adalah Bill Gates. Bill Gates telah mengubah cara kita melihat dunia. Ia menjadi inspirator bagi kita terutama para
tokoh komputer di seluruh dunia. Dalam
biografi Bill Gates diceritakan bahwa untuk membuat
Hard Drive yang ia
geluti selama bertahun-tahun, ia pernah tidak tidur selama seminggu tanpa henti
sampai pada akhirnya ia jatuh tertidur memeluk komputernya saat ia telah
mencapai tingkat puncak dari penemuannya.
Kisah-kisah kehidupan para tokoh ini berawal dari upaya dan kerja
keras.
Implementasi Bekerja dalam Waktu “Hemera”
Tatkala
mengamati dan mencoba membedah pidato perdana Presiden Joko Widodo
pascadilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu
,
dengan antusias menekankan dimensi bekerja atau kerja keras.
Saking seriusnya, ia berulangkali mengucapkan
kata kerja, kerja, dan kerja dalam teks pidato tersebut. Jargon “kerja” atau “kerja keras” yang
disampaikannya tidak sekadar slogan belaka dari sang Presiden tetapi telah menginternalisasi
di dalam jiwanya karena telah menjadi gaya hidup dan keluarganya. Ia berharap
agar kebiasaan ini tertular kepada orang-orang yang dipimpinnya, tertular
kepada para pejabat, tertular kepada para elite, tertular kepada seluruh masyarakat
Indonesia tanpa terkecuali.
Bagi sebagian orang, kata “bekerja” atau
“bekerja keras” terkesan biasa saja, dangkal, dan membosankan. Namun, mesti
dipahami bahwa kandungan nilai dari kata ini sangat luas. Pada paragraf pertama dari pidato sang
Presiden menyentuh hubungan erat antara sumpah dengan komitmen kerja keras. Ia
juga menghubungkan antara beban sejarah yang mahaberat pun dapat ditempuh
dengan solusi bekerja keras. Yang paling menarik adalah ketika mengajak dan menyerukan
kepada seluruh anak bangsa dari berbagai kalangan dan dari berbagai latar
belakang suku, agama, ras, etnis, budaya, dan profesi agar bergerak
bersama-sama untuk bekerja. Singkatnya,
ia memberi nilai urgen pada faktor bekerja dengan tulus dan sekeras-kerasnya
untuk mencapai masa depan peradaban yang terhormat.
Pada saat pelantikan
para menteri, Presiden Joko Widodo juga menggarisbawahi tentang betapa urgennya
bekerja. Tidak mengherankan bila ia
menyebut kabinet yang dipimpinnya sebagai kabinet kerja (working cabinets). Ia sadar betul tentang nilai dan space waktu (time bounded) yang tersedia untuk bekerja memimpin – yang begitu
singkat. Dalam konteks waktu inilah, ia
menyatakan bahwa lima tahun ke depan menjadi momentum sejarah yang tepat sebagai
bangsa yang merdeka; sebagai bangsa yang makmur, adil, dan sejahtera.
Kesimpulan
Bekerja adalah amanat Allah yang
bersifat imperatif bagi semua orang tanpa kecuali. Karena itu, bagaimana sepatutnya kita bekerja
dalam masa “hemera” Tuhan yang begitu singkat ini? Ada beberapa catatan reflektif, sbb.:
a. Bekerja
Berdasarkan Kasih-Karunia/Talenta
Baik Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru meletakkan fondasi yang sangat kuat bahwa bekerja
adalah amanat Allah yang mesti diisi dan disyukuri. Tidak ada jalan pintas seperti telah
diuraikan sebelumnya. Kita mesti bekerja sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitas masing-masing. Potensi kapasitas
dan kapabilitas ini telah disediakan oleh Allah. Bahkan potensi mengetahui rahasia surgawi dan
ilmu pengetahuan lainnya (menjadi penemu) dijamin oleh Tuhan. Tentu, mesti
melakukan proses aktivasi (Matius 13; Matius 25; I Korintus 13-14). Inilah yang
diyakini dan dilakukan oleh para penemu kelas dunia. Di atas dasar kasih karunia,
talenta, dan panggilan inilah sepatutnya kita dapat bekerja dalam ruang dan
waktu “hemera” yang disediakan oleh Sang Pencipta.
2. Bekerja
Seperti untuk Tuhan
Nasihat rasul Paulus kepada jemaat di
Kolose menyatakan bahwa apapun yang diperbuat (dikerjakan) harus dikerjakan
seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Kebenaran ini
menggarisbawahi tentang nilai, kualitas, bobot yang terbaik dari diri sendiri (summum bonum). Jangkauan kebaikan ini
tidak berbicara tentang sasaran abstrak saja tetapi juga adalah sasaran terasa
yaitu untuk diri sendiri. Dalam konteks ini, saya ingat pemikiran yang pernah
dilontarkan oleh salah seorang pakar kepemimpinan Kristen, Dr. Yakob Tomatala/Ketua
STT Jaffray Jakarta yang dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa
sesungguhnya kita tidak bekerja untuk orang lain; pun -- kita tidak bekerja
untuk Tuhan. Kita tidak bekerja untuk
siapa-siapa, akan tetapi kita sedang bekerja untuk diri kita sendiri – yang
kiranya Tuhan berkenan atasnya. Tidak mudah mencerna gagasan-filosofis ini.
Namun, gagasan ini menggugah paradigma dan kesadaran saya untuk merumuskan
kembali tentang apa yang sudah dan sedang saya lakukan.
Ketika kita bekerja dengan motivasi yang
baik dan benar, sesungguhnya kita sedang memberi nilai bagi diri sendiri. Ketika kita sedang bekerja untuk membesarkan
organisasi, sesungguhnya kita sedang membesarkan diri kita sendiri. Jadi, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa
hal bekerja adalah sesungguhnya untuk orang lain atau untuk organisasi.
3. Bekerja
untuk Menghasilkan Berkas
Hidup semestinya memberi dampak; memberi
pengaruh. Bahasa Perjanjian Baru menggunakan istilah buah (Yun. karpos). Kata “karpos” digunakan secara luas baik secara literal yang artinya
betul-betul buah dari proses alami yang nantinya akan menjadi bibit maupun
secara figuratif yang merujuk pada tindakan yang keluar dari kualitas jiwa seseorang. Mazmur 126:6 menggarisbawahi tentang berkas
(Ibrani: alummah) yang dihasilkan
oleh karena kegigihan, keuletan, dan kerja keras. Dengan kegigihan, keuletan,
dan kerja keras akan ada warisan hidup yang ditinggalkan kepada generasi
berikutnya. Salah seorang pakar
Konseling Kristen, Dr. Julianto Simanjuntak/Dosen STT Jaffray Jakarta berulang
kali menyatakan closing statement-nya
dalam beberapa seminar konseling sehubungan dengan kesadaran bahwa hidup ini
begitu singkat. Closing statement ini
berupa pertanyaan, “Apa kira-kira yang ditulis di atas batu nisan saudara
ketika sudah waktunya Tuhan memanggil saudara?” Pertanyaan ini merupakan terjemahan aplikatif-reflektif
dari berkas-berkas yang dibahasakan oleh Pemazmur dalam nyanyian ziarahnya. Melalui gagasan dan uraian yang telah
dibentangkan, semestinya waktu “hemera” harus dihargai sehingga menyediakan
berkas bagi masa depan generasi berikutnya. Dengan demikian, hidup dan mati dalam masa
kerja “hemera” akan tetap berkualitas.
Kepustakaan
Buku-Buku:
Pfeiffer,
Charles F., dkk. (Editor)
2008 The Wycliffe Bible Commentary: Tafsiran
Alkitab Wycliffe. Malang: Gandum Mas.
Internet:
http://www.bibleworks.com/DLSP_R_v8_rev1.htm.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pelantikan_Presiden_Joko_Widodo.