NATAL DAN REVOLUSI MENTAL
oleh Nasokhili Giawa
Keterasingan manusia karena dosa menyebabkan manusia
mencari berbagai macam cara dan jalan untuk menemukan jatidiri dan untuk
menemukan Tuhan. Interupsi dosa ke dalam
kehidupan manusia telah memporak-porandakan banyak hal. Dosa merusak relasi
yang baik dengan Tuhan, relasi dengan sesama, dan relasi dengan ciptaan lainnya.
Paradigma berpikir manusia menjadi terganggu, tercemar, dan cenderung korup. Karakter
manusia menjadi rusak bahkan mencapai titik nadir yang terendah dan hampir
sulit membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Singkatnya, mentalitas-moralitas-spiritualitas
manusia menjadi terganggu oleh karena magnet dosa yang sangat kuat.
Filsuf Italia Giovanni Pico Della Mirandola (1463-1494)
dengan pandangan humanismenya tentang ‘nilai manusia’ ia mengatakan, “Di tengah
dunia, Allah meletakkan manusia, tanpa tempat yang tetap, tanpa pembentukan
yang tetap, tanpa karya yang tersendiri seperti Dia membagikan kepada semua
makhluk lain. Manusia dapat turun
nilainya dan berubah seperti binatang, tetapi dia dapat juga naik ke surga –
semuanya terletak pada kehendaknya sendiri.” Sekalipun pemikiran Giovanni dominan
pandangan humanistik, tetapi kondisi inilah yang sedang mengemuka pada zaman ini. Karena itu, syukuran Natal yang dirayakan
oleh umat kristiani mengingatkan bahwa Yesus Kristus datang untuk menaklukkan
kuasa dosa dan solusi kemerdekaan serta pemerdekaan di dalam Dia.
Natal dan Rancangan Allah
Seperti yang disaksikan oleh Kitab Suci Alkitab bahwa kelahiran
Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan rancangan Allah yang kekal untuk
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa yang secara substantif-teologis tidak
dapat menyelamatkan diri sendiri.
Penyelamatan ini harus dibayar dengan kasih yang tertinggi yaitu hidup
dan kehidupan secara total. Tuntutan
penyelamatan itu sangat dahsyat yaitu nyawa yang sempurna dan terbaik (summum bonum). Kesaksian Yohanes tentang Yesus Kristus
menyatakan bahwa “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13). Dalam konteks inilah, Natal harus dimaknai
sebagai ungkapan isi hati Allah demi membahagiakan manusia di dalam Yesus
Kristus. Ini merupakan pembelaan konkrit
bagi manusia. Karena itu, selayaknya orang-orang
yang telah “dibahagiakan” oleh Allah dapat berperan aktif untuk menghadirkan
tanda-tanda kerajaan Allah di bumi yang berbelas kasih kepada segenap manusia
dan ciptaan-Nya. Inilah nilai (value)
sekaligus inti (core) dari perayaan
natal yang sesungguhnya.
Natal dan Perbuatan Nyata
Pada prinsipnya, natal tidak hanya berbasiskan seremonial
atau selebrasi belaka tetapi peluang untuk memaknai natal itu dalam relasinya
dengan compassion dan sacrifices dalam segala sisi kehidupan
manusia. Natal tidak hanya bermuatan
sakralistik tanpa pemaknaan, akan tetapi natal adalah kesempatan untuk
mengobarkan semangat juang, semangat melayani, semangat berbagi, semangat
berkreasi, dan semangat berinovasi untuk pencapaian perubahan kehidupan pada
arah yang lebih baik.
Kitab Suci
Alkitab memperkuat argumentasi bahwa kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia
memberi solusi kepada umat manusia yang percaya kepada-Nya. Pada sisi lain, kehadiran-Nya – secara tidak
langsung – juga mencipta kegelisahan batiniah orang-orang yang mempertahankan status quo; orang-orang yang
mempertahankan kebiasaan buruk; orang-orang yang bersahabat dengan kegelapan. Kegelisahan ini pun menjadi bagian
orang-orang yang menyebut diri sebagai imam, kaum lewi, ahli-ahli Taurat,
orang-orang Farisi yang berpengetahuan dan berpendidikan, dsb. Menjadi bagian
dari orang-orang yang menyebut diri sebagai orang beriman; orang yang latah dan
melafalkan dengan menyebut diri sebagai ‘hamba Tuhan’ tetapi bukan hamba dalam
arti yang sesungguhnya. Mereka jauh dari
karakter hamba. Berdasarkan kondisi ini, Yesus Kristus hadir untuk membongkar
habis kebiasaan kegelapan ini untuk menemukan diri berubah di dalam Dia. Inilah
yang dinamakan perubahan. Karena itu, ketika mensyukuri Natal, selayaknya
sungguh-sungguh menggumuli perubahan seperti yang dikehendaki oleh Putra Natal
itu sendiri yang menjadi penanda bahwa kita adalah berbeda. Berbeda karena kita menjiwai kehadiran-Nya;
berbeda karena mendarahdagingkan kebenaran; dan berbeda karena kita mengalami
dan menghidupi karakter Kristus yang berbuat secara nyata.
Natal dan Revolusi Mental
Umumnya, revolusi diartikan sebagai perubahan
ketatanegaraan (baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan
sosial/keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan atau perubahan yang
cukup mendasar dalam suatu bidang tertentu.
Mental adalah berkaitan erat dengan
batin dan watak manusia. Jadi,
bilamana berbicara tentang revolusi mental dimaksudkan agar terjadi tranformasi
secara substansial yang bermula dari batin manusia.
Jargon “revolusi mental” ala Presiden Joko Widodo menempatkan
perubahan mental sebagai yang utama untuk sebuah perubahan besar. Dalam artikel yang ditulis oleh Joko Widodo
sebelum menjadi Presiden, ia mengemukakan konsep revolusi mental sebagai solusi
bagi kemajuan bangsa kita. Secara filosofis-argumentatif, ia menyatakan, “Penggunaan
istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu
terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala
praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang
sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi
fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap
memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang
pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.” Pernyataan ini sesungguhnya mengandung ajakan
sekaligus kampanye positif untuk seluruh elemen bangsa agar terjadi revolusi
mental.
Suasana dan kondisi dunia telah bergeser. Pergeseran ini telah mempengaruhi sikap,
tindakan, dan perilaku. Sikap
egoistik-individualistik pun berkembang biak.
Persatuan dan kesatuan mengalami nasib ‘merana’ seakan-akan tidak
berdaya. Kebanyakan slogan daripada kenyataan. Singkatnya, mengalami
abrasi. Orang Kristen yang notabene tahu kebenaran berbasiskan
rohani justru ‘mengaborsi’ kebenaran itu sendiri; sementara yang dianggap jauh
dari dimensi rohani (sekuler) sedang mengadopsi kebenaran. Tampaknya ‘dunia’ sedang terbalik. Serba
sungsang dan sekarat. Di tengah suasana dan kesuraman seperti ini, Natal hadir
memberi rekomendasi agar terjadi perubahan paradigma (shift paradigm), berpikir terbuka, dinamis, dan progresif dengan
nilai-nilai kebenaran yang membumi seperti yang diamanatkan oleh Putera Natal
itu sendiri yang melahirkan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan di atas bumi. Inilah revolusi yang sesungguhnya. Selamat
Natal.
0 komentar:
Posting Komentar